SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Dalam berbagai forum, banyak ibu di Indonesia yang mempertanyakan apakah MPASI fortifikasi aman untuk bayi. Pertanyaan ini timbul karena MPASI fortifikasi termasuk makanan pabrikan dan ada persepsi bahwa makanan pabrikan tidak baik untuk bayi.
Sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab atas standarisasi pangan olahan di Indonesia, Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc, Pakar Teknologi Pangan sekaligus Anggota Tim Pakar Direktorat Standardisasi Pangan Olahan BPOM tergerak untuk memberikan informasi yang lengkap mengenai isu tersebut.
Hal itu untuk mengurangi kebingungan dan rasa khawatir para ibu agar mereka lebih percaya diri ketika mengambil pilihan yang terbaik bagi bayinya.
"Karena itulah, saya juga mengajak Dr. Ardi sebagai salah satu dokter sekaligus influencer tumbuh kembang anak untuk membeberkan fakta seputar MPASI fortifikasi, dan bagaimana ibu bisa memastikan kelengkapan gizi bayi ketika memasuki masa transisi ke MPASI setelah mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama," terangnya.
Prof Sugiyono membeberkan, pertama-tama sebelum membahas tentang MPASI fortifikasi, sebaiknya memahami dulu apa itu makanan pabrikan dan bagaimana pembuatannya.
Makanan pabrikan adalah hasil pengolahan makanan di pabrik yang mencakup pemasakan (biasanya perebusan atau pengukusan) dan pengeringan.
Pemasakan, yang umum dilakukan baik di rumah atau dalam industri, bertujuan memastikan makanan matang, aman, dan mudah dicerna, misalnya daging yang tidak boleh dimakan secara mentah.
Apalagi jika makanan tersebut diperuntukkan untuk bayi yang masih rentan mengalami gangguan kesehatan. Makanan untuk bayi tentu saja harus diproses atau dimasak (misalnya direbus atau dikukus lalu dilunakkan) agar sesuai dan aman dikonsumsi bayi dan memberikan nutrisi yang diperlukan agar bayi dapat tumbuh dan berkembang optimal.
Setelah proses pemasakan, dalam pembuatan makanan pabrikan, dilakukan proses pengeringan. Tujuan pengeringan adalah untuk mengeluarkan air dari makanan sehingga menjadi tahan lama atau awet disimpan tanpa mengalami kerusakan atau pembusukan dan kandungan nutrisinya dapat dipertahankan.
Tak hanya dalam bidang industri, proses pengeringan makanan juga umum dilakukan masyarakat dalam keseharian agar makanan menjadi awet.
Sebagai contoh, roti tawar dikeringkan menjadi roti kering, ataupun daging dikeringkan menjadi dendeng.
"Jadi, makanan pabrikan itu cepat penyajiannya karena sudah dimasak sebelumnya, dan awet karena telah dikeringkan. Dengan demikian, makanan pabrikan tidak perlu mengandung bahan pengawet karena bentuknya sudah kering sehingga awet dengan sendirinya," kata Prof Sugiyono.
"Dengan begitu, asumsi bahwa makanan pabrikan itu pasti mengandung pengawet tambahan tidak selalu benar adanya. Dalam bidang industri, salah satu makanan yang melalui proses pengeringan agar lebih awet adalah makanan bayi yang dikeringkan menjadi MPASI fortifikasi," lanjutnya.
Yang sering hilang di konteks perbincangan mengenai makanan pabrikan adalah tujuannya yang positif, yaitu untuk memberikan kesetaraan akses terhadap gizi di Indonesia.
Pembuatan makanan pabrikan yang awet tentu memungkinkan distribusi makanan sampai ke daerah-daerah terpencil dan jauh.
Hal ini sangat menguntungkan di negeri kepulauan seperti Indonesia, di mana pengiriman makanan memerlukan waktu relatif lama. Dengan adanya makanan pabrikan yang awet, masyarakat di daerah terpencil tetap bisa mendapatkan akses makanan yang berkualitas.
Pendapat negatif lain mengenai pemrosesan yang “menghilangkan gizi” pada MPASI fortifikasi juga ingin saya luruskan disini.
"Tidak dipungkiri bahwa proses pengolahan, termasuk saat kita mengolahnya di rumah seperti memasak, dapat merusak sebagian vitamin yang ada pada makanan," ujarnya.
Pada makanan fortifikasi, sebagian zat gizi yang rusak atau hilang karena proses pengolahan, dapat diatasi dengan menambahkan vitamin dan mineral pada makanan yang telah diolah - hal inilah yang membedakan fortifikasi dengan makanan yang diolah di rumah.
Proses penambahan vitamin dan mineral ini justru bisa memberi tambahan nutrisi yang sangat sulit dipenuhi tiap harinya, misalnya zat besi dan zat gizi mikro lainnya untuk memenuhi kebutuhan bayi.
Kesalahpahaman mengenai MPASI fortifikasi berawal dari persepsi negatif yang muncul terhadap makanan yang masuk kategori ultra processed food (UPF) dalam sistem klasifikasi makanan bernama NOVA.
Klasifikasi NOVA sendiri dicetuskan oleh peneliti dari Brazil pada tahun 2009 yang menggolongkan makanan dalam 4 kategori berdasarkan tingkat pengolahannya.
Empat kategori tersebut adalah unprocessed dan minimally processed foods (seperti pangan segar), processed culinary ingredients (bahan pangan yang meliputi minyak atau lemak, gula, dan garam), processed foods (buah atau ikan di kaleng), dan UPF (makanan cemilan, biskuit, minuman susu, sereal sarapan, makanan instan).
Klasifikasi NOVA sama sekali tidak memperhitungkan kandungan nutrisi makanan, dan hanya mengkategorikan makanan berdasarkan tingkat pengolahannya saja.
Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir ini, semakin banyak pakar yang mengkritik penggunaan klasifikasi NOVA untuk menilai kandungan nutrisi makanan karena tingkat pengolahan makanan tidak menentukan kandungan nutrisi makanan yang dihasilkan.
Kandungan nutrisi makanan lebih banyak ditentukan komposisi bahan yang digunakan untuk membuat makanan tersebut.
Contohnya, proses pemanggangan biskuit dapat menghasilkan produk dengan kandungan nutrisi sesuai untuk bayi, tetapi juga bisa menghasilkan biskuit yang tidak cocok untuk bayi, tergantung pada bahan yang digunakan.
Dengan demikian, mengatakan bahwa makanan pabrikan sebagai makanan yang tidak baik bagi bayi karena termasuk UPF, tentu bukan perkataan yang tepat. Yang tepat dalam menilai sebuah produk MPASI fortifikasi baik atau tidak bagi bayi adalah dengan melihat komposisi nutrisi makanan pabrikan tersebut.
Selain kesalahpahaman yang disebabkan sistem kategorisasi NOVA, ada pula kesalahpahaman yang dipicu oleh klaim studi efek negatif UPF. Mungkin ibu-ibu pernah mendengar informasi bahwa MPASI fortifikasi tidak aman berdasarkan studi mengenai efek negatif UPF.
Yang perlu diluruskan adalah sebenarnya, belum ada satupun studi yang menggunakan produk MPASI fortifikasi sebagai sumber makanan yang diteliti.
Tentunya hal ini menjadikan kesimpulan studi efek negatif UPF tersebut tidak relevan apabila kita berbicara mengenai MPASI fortifikasi.
Penting diketahui ibu bahwa MPASI fortifikasi dikontrol sangat ketat oleh BPOM: mulai dari bahan baku, proses produksi, kandungan zat gizi, serta keamanannya.
Untuk produk MPASI fortifikasi, BPOM menerapkan standar yang sangat ketat mengingat pentingnya keamanan makanan bayi dan nilai gizinya.
BPOM tidak mengizinkan MPASI fortifikasi mengandung pengawet, pewarna atau perisa serta tidak boleh memiliki kandungan gula dan garam yang tinggi.
Prof Sugiyono menjelaskan, MPASI fortifikasi yang telah diizinkan beredar di Indonesia oleh BPOM berarti juga telah lolos tahap pengontrolan kualitas sesuai kriteria Codex Alimentarius, sebuah lembaga independen yang membuat standar makanan berbasis sains yang ditetapkan secara kolektif oleh berbagai negara untuk melindungi kesehatan konsumen yang dibentuk oleh FAO/WHO.
"Pada intinya, saya berharap artikel ini dapat turut berkontribusi dalam meningkatkan literasi gizi para ibu, sehingga mereka bisa memilih yang terbaik bagi bayinya tanpa rasa khawatir. Saya percaya apabila ibu memiliki literasi gizi yang lebih baik, tahu bagaimana mencari kebenaran sebuah informasi, maka dengan pengetahuan tersebut ibu tidak mudah bingung dengan banyaknya informasi dari sosial media atau lingkungan sekitar yang meresahkan dan belum tentu kebenarannya," tutupnya.
Bagaimana MPASI Fortifikasi Bisa Mendukung Tumbuh Kembang Anak Pada 1000 Hari Pertama Kehidupan
Dari sudut pandang Dr. Mas Nugroho Ardi Santoso, SpA, MKes sebagai dokter spesialis anak, memahami adanya berbagai pertimbangan dan perbedaan pandangan dalam memilih nutrisi MPASI.
Dr. Mas Nugroho Ardi Santoso, SpA, MKes, adalah seorang profesional medis yang lahir di Surabaya pada tanggal 10 Oktober 1979. Dia telah mencapai gelar Dokter Umum dan Dokter Spesialis Anak, serta memiliki gelar Master of Health (M.Kes).
Ada sebagian yang berpendapat bahwa MPASI yang baik adalah yang diolah sendiri, dan di sisi lain anti terhadap MPASI fortifikasi.
"Lebih nyaman menggunakan MPASI pinggir jalan yang kita tidak pernah tahu proses pembuatannya – daripada menggunakan MPASI fortifikasi," tuturnya.
"Saya setuju dengan tujuan Prof. Sugiyono untuk meningkatkan literasi gizi melalui isu ini. Karena itu, saya ingin memulai dengan membahas pengetahuan dasarnya dulu, yaitu peran gizi dalam 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK)," ungkapnya.
1000 HPK adalah fase terpenting dalam membentuk dan membangun kualitas gizi anak. Kualitas pada 1000 HPK sangat menentukan keberlangsungan kehidupan anak dimasa depan. Misalnya seluruh organ penting dan sistem tubuh mulai terbentuk dengan pesat.
Perkembangan yang dimulai adalah kesehatan saluran cerna, perkembangan organ metabolik, perkembangan kognitif, pertumbuhan fisik, dan kematangan sistem imun.
Bahkan perkembangan otak manusia 80 persen terjadi pada masa 1000 HPK, dan sisanya 20 persen terjadi hingga dewasa.
"Karena itu selain memperhatikan nutrisi seimbang saat hamil, kemudian memastikan asupan gizi melalui ASI selama 6 bulan, ibu juga harus memperhatikan asupan nutrisi pada fase MPASI saat usia anak di atas 6 bulan," kata Dr. Ardi.
Pada usia tersebut, anak sudah semakin membutuhkan nutrisi yang kompleks dan tidak cukup hanya diberikan melalui ASI. Anak sudah sangat perlu diberikan dukungan asupan lain melalui makanan pendamping ASI (MPASI).
MPASI yang mendukung tumbuh kembang optimal adalah yang diberikan tepat waktu, cukup kalori, protein, lemak, vitamin, mineral, higienis dan responsif diberikan setelah bayi berusia 6 bulan dan ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun.
MPASI yang kurang dalam kuantitas dan kualitas dapat menyebabkan anak gagal tumbuh dan jika berlangsung dalam waktu lama akan menjadi pemicu malnutrisi dan stunting.
Selain mengetahui teorinya, sebenarnya ada masalah lain yang lebih nyata yang dihadapi para ibu (dan juga mungkin inilah yang membuat ibu sering khawatir), yaitu bagaimana ibu bisa memastikan kualitas nutrisi makanan - mulai dari apakah kualitas bahan bakunya terjamin, apakah proses memasaknya sudah benar sehingga nutrisinya tidak rusak?
Dari segi pengolahan makanannya saja, sebenarnya cukup sulit memastikan kualitas nutrisi MPASI olahan sendiri, apalagi bubur tim pinggir jalan. Sebagai gambaran, bayi berusia 6 bulan ke atas membutuhkan asupan zat besi sebanyak 11 mg/hari.
Dr. Ardi menjelaskan, ASI hanya menyediakan sekitar 3% dari 11 mg zat besi, sehingga sisanya perlu diperoleh dari MPASI.
Makanan kaya zat besi seperti daging sapi, hati sapi atau ayam, dan ikan harus dikonsumsi dalam jumlah sekitar 400g untuk memenuhi kebutuhan zat besi harian. Tentunya itu tidak mungkin dengan kapasitas lambung bayi yang terbatas.
"Disinilah MPASI fortifikasi sangat bisa digunakan sebagai alternatif nutrisi pendukung tumbuh kembang oleh karena kelebihannya, yaitu sudah ditambahkan vitamin dan mineral sesuai kebutuhan harian," terangnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bayi berusia 6-24 bulan yang mengkonsumsi MPASI fortifikasi mencatat kadar hemoglobin, zat besi, dan ferritin (pengikat zat besi) yang lebih tinggi dibanding dengan bayi yang mengkonsumsi MPASI homemade.
Dalam berbagai penelitian lain juga telah dibuktikan bahwa nutrisi fortifikasi dapat mendukung pertumbuhan anak secara positif.
Para ibu juga sebaiknya bijak dalam menyikapi nutrisi MPASI. Jika bisa memastikan kualitas nutrisi seimbang sesuai kebutuhan anak – silahkan dibuat makanan olahan di rumah.
Tetapi tidak juga harus dipaksakan atau idealis untuk anti terhadap nutrisi fortifikasi – padahal disaat yang sama nutrisi anak justru tidak tercukupi karena makanan olahannya tidak berkualitas.
"Mari fokus pada kebutuhan nutrisi seimbang anak, terlepas apakah berasal dari nutrisi olahan sendiri atau dibantu oleh nutrisi fortifikasi," tandasnya.
Disamping itu juga para ibu disarankan untuk terus menambah wawasan terkait tumbuh kembang dari sumber-sumber yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga lebih bijak dalam mengambil keputusan.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait