Suku terbesar di Indonesia, Sunda dan Jawa memiliki sejarah panjang. Hingga saat ini masih banyak yang memercayai larangan Suku Sunda untuk menikah dengan Suku Jawa. Larangan menikah antara kedua suku itu dipercayai, bahkan kalau nekat menjalin hubungan diprediksi tidak akan bahagia.
Di masyarakat tertentu, larangan menikah antar Suku Sunda dengan Suku Jawa masih sangat kental, bahkan menjadi sesuatu yang tabu. Tak jarang, beberapa pasangan dengan terpaksa harus membatalkan pernikahanya, hanya karena tetua atau sesepuh dalam keluarga tidak bisa merestui hubungan lantaran status suku Sunda dengan Jawa.
Konon menurut cerita, jika ada dua orang antara Suku Sunda dengan Suku Jawa menikah, kehidupan mereka tidak akan bahagia dan sering diterpa masalah dan berujung kegagalan dalam berumah tangga.
Penolakan Suku Jawa menikahi Suku Sunda buka tanpa sejarah. Kondisi ini dipengaruhi dengan adanya tragedi Perang Bubat yang terjadi pada 1357 Masehi atau sekitar abad ke-14.
Saat itu Patih Gajah Mada diperintah oleh Hayam Wuruk untuk mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Kerajaan Padjajaran. Hayam Wuruk jatuh cinta pada sang putri dari Kerajaan Padjajaran setelah melihat lukisan seorang seniman bernama Sungging Prabangkara.
Kerajaan Majapahit lantas mengirim surat lamaran pada Maharaja Linggabuana. Rombongan Kerajaan Padjajaran kemudian berangkat ke Kerajaan Majapahit dan diterima di Pesanggrahan Bubat.
Sayangnya, Gajah Mada yang saat itu menjabat sebagai mahapatih kemudian berniat menyerang mereka. Penyerangan ini dilakukan untuk memenuhi Sumpah Palapa dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara.
Akibat serangan itu, rombongan Kerajaan Sunda yang hanya diiringi sedikit pasukan kalah. Semua anggota keluarga Dyah Pitaloka meninggal. Karena tidak kuasa menahan kesedihan, Dyah Pitaloka tidak jadi menikah dengan Hayam Wuruk dan justru melakukan tindakan bunuh diri.
Dengan tewasnya anggota keluarga Kerajaan Padjajaran, Pangeran Niskalawantu Kancana yang ditinggal di istana kemudian diangkat jadi penerus tahta Kerajaan Padjajaran.
Peristiwa itu merusak hubungan kedua kerajaan, antara Kerajaan Padjajaran dengan Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Pajajaran yang dipimpin Niskalawantu menegaskan untuk melarang penduduknya menikah dengan orang dari luar kerajaan. Sebagian menafsirkan aturan ini sebagai larangan untuk tidak menikah dengan orang dari Kerajaan Majapahit atau orang Jawa.
Hingga kini, sentimen itu masih tersisa. Jika diperhatikan, kamu tidak akan menemukan nama jalan “Gajah Mada” atau “Majapahit” di Provinsi Jawa Barat. Itu alasan mengapa Suku Sunda dilarang menikah dengan Suku Jawa.
Menurut penuturan Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) saat itu (2018), H. Drs. K. Ng. Agus Sunyoto, mitos tersebut memang sangat identik dengan peristiwa Perang Bubat.
"Memang ada pengaruh yang besar dari cerita itu (Perang Bubat). Tapi perlu diketahui bahwa pendiri Majapahit itu adalah Raden Wijaya dari Sunda," tutur Agus Sunyoto.
Lebih lanjut Agus menjelaskan, orang Jawa itu sebetulnya terbuka dan bebas menikah dengan siapa saja. Salah satu alasannya karena mereka tidak memiliki identitas etnis.
"Masyarakat Jawa itu sudah tidak memiliki identitas etnis. Tidak ada yang punya marga. Jadi menikah dengan siapa saja boleh. Mungkin berbeda dengan suku-suku lain yang harus menikah dengan marga tertentu," imbuhnya.
Saat ini masih banyak yang memercayai larangan Suku Sunda untuk menikah dengan Suku Jawa.
Tidak sampai di situ saja, Agus juga sempat memberikan sebuah analogi tentang kedekatan orang Jawa dengan orang Sunda. Menurutnya, contoh yang paling gampang adalah melihat hubungan antara Viking dengan Bonek.
"Selama ini yang memiliki keakraban dengan PERSIB itu cuman PERSEBAYA. Dua supporter klub sepakbola ini selalu bersatu, menunjukkan bahwa daerah mereka tidak memiliki masalah satu sama lain," papar Agus.
"Coba bandingkan ketika Bonek bertemu dengan Aremania. Yang ada mereka malah bergesekan," tukasnya.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait