SAMPANG, iNewsSurabaya.id - Di tengah gemerlapnya kehidupan modern, nasib pahit Nenek Danik (75) mungkin tak banyak diketahui orang. Di usia senjanya, ia terpaksa tinggal di sebuah gubuk tak layak huni di Kelurahan Banyuanyar, Sampang, Madura.
Mirisnya, Nenek Danik bukanlah sosok biasa. Ia adalah pensiunan guru, bahkan pernah menjabat sebagai kepala sekolah di sebuah Sekolah Dasar (SD) di Camplong, Sampang.
Gubuk yang ia huni kini sungguh memprihatinkan. Dengan atap terpal yang bolong-bolong dan dinding kayu yang hanya dilapisi karung, rumah ini hampir tak bisa disebut tempat tinggal. Ketika hujan turun, air merembes dari segala sisi, memaksanya berteduh di teras yang juga tak kalah kumuh.
"Kalau hujan, rumah ini bocor di mana-mana. Terpaksa saya duduk di luar, di teras," cerita Nenek Danik, Kamis (1/8/2024).
Dua puluh tahun lalu, Nenek Danik menjalani hidup yang jauh berbeda. Ia pernah berdiri di depan kelas, mengajar murid-muridnya dengan penuh dedikasi. Bahkan, ia sempat dipercaya memimpin sekolah sebagai kepala sekolah.
"Dulu saya mengajar di Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Camplong," kenangnya dengan mata yang tampak berkaca-kaca.
Sayangnya, masa pensiunnya jauh dari sejahtera. Tanpa jaminan kesehatan dan tak pernah menerima bantuan beras miskin (Raskin), Nenek Danik harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Setiap hari, ia mengumpulkan barang rongsokan untuk dijual, meskipun hasilnya tak seberapa.
Namun, di tengah semua kesulitan itu, masih ada harapan. Beberapa dermawan sering datang untuk memberikan makanan atau sedikit bantuan. Tapi tetap saja, kehidupan Nenek Danik menggambarkan realitas yang menyedihkan tentang nasib seorang pensiunan guru yang terlupakan oleh sistem.
Kisah Nenek Danik adalah cermin dari perjuangan banyak lansia di negeri ini, yang menghabiskan sisa hidup mereka dalam keterbatasan, meski telah memberikan begitu banyak bagi generasi muda.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait