SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Fenomena "matinya kepakaran" (the death of expertise) semakin mengkhawatirkan. Di era post-truth, informasi yang populer dan sensasional, khususnya di media sosial, seringkali mengalahkan keahlian dan fakta ilmiah. Masyarakat lebih mudah percaya pada influencer daripada pakar di bidangnya.
Angga Prawadika Aji, Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), menuturkan bahwa perkembangan politik dan popularitas media sosial menjadi faktor utama yang mendorong era post-truth.
"Kedua faktor ini membentuk fenomena post-truth yang memicu perdebatan, termasuk tentang 'matinya kepakaran'," jelas Angga.
Angga menyoroti dampak besar media sosial dalam mereduksi nilai keahlian. Platform ini memberikan panggung bagi semua orang, tanpa memandang kapabilitas.
"Seperti kata Umberto Eco, ahli semiotika, media sosial menjadi sumber masalah besar. Orang-orang tanpa keahlian dan dasar ilmu yang kuat memiliki suara yang sama dengan para pakar," tambah Angga.
Akibatnya, masyarakat menilai informasi berdasarkan popularitas, jumlah likes, dan views, bukan berdasarkan riset dan fakta. Hal ini mengaburkan batas antara fakta dan opini, mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan.
"Media sosial mengukur validasi berdasarkan kuantitas, bukan kualitas. Jika sebuah opini di media sosial tidak mendapat banyak likes, kita cenderung memandang rendah hal tersebut," terang Angga.
Situasi ini diperparah dengan ketergantungan masyarakat pada influencer untuk menafsirkan informasi. Kurangnya literasi digital membuat masyarakat mudah terpengaruh oleh sumber informasi yang familiar, tanpa mempertimbangkan validitasnya.
Fenomena echo chamber pun muncul, di mana masyarakat hanya mengonsumsi informasi yang sesuai dengan keyakinannya dan menolak informasi yang berbeda.
"Kurangnya literasi dan kemampuan berpikir kritis membuat masyarakat Indonesia mudah termakan misinformasi dan berita bombastis dari figur terkenal," ungkap Angga.
Angga mengingatkan bahaya jika tidak segera memperbaiki literasi masyarakat. "Kita akan menghadapi generasi yang sulit membedakan antara opini populer dan fakta yang valid. Ini bisa mengarah pada pembodohan massal, di mana hanya popularitas yang dianggap sebagai ukuran kebenaran," pungkasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait