SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Di tengah gemerlap ajang Festival Reog Nasional Piala Presiden 2025, satu nama dari Surabaya mencuat dan menyita perhatian: Komunitas Reog Laskar Wani Suroboyo. Mereka sukses menyabet penghargaan Pelestari Budaya berkat dedikasi luar biasa dalam menjaga warisan budaya Reog Ponorogo tanpa sepeser pun bantuan dari pemerintah kota.
Berangkat dari semangat khas Suroboyoan, yakni “Wani” (berani), komunitas ini menunjukkan bahwa pelestarian budaya tidak harus lahir dari lembaga formal. Ia bisa tumbuh dari akar rumput, dari solidaritas warga, dan dari cinta murni terhadap seni tradisi. Tanpa anggaran, tanpa fasilitas negara, namun penuh tekad dan kegigihan.
Laskar Wani Suroboyo adalah komunitas independen yang dibentuk oleh pemuda-pemudi Surabaya yang mencintai budaya. Mereka memulai dari nol—berlatih di lapangan terbuka, merawat kostum dengan dana patungan, dan membangun komunitas dengan semangat gotong royong.
Dalam Festival Reog Nasional di Ponorogo, Juni lalu, mereka tampil memukau dengan tema “Surabaya Bergerak Wani”. Penampilan ini memadukan semangat kepahlawanan Surabaya dengan elemen klasik Reog yang diolah secara dinamis dan modern.
“Kami bukan utusan institusi. Kami adalah suara Arek-Arek Suroboyo. Reog adalah napas kami,” tegas Bayu Arypta, salah satu pembina Laskar Wani.
Komunitas Reog Laskar Wani Suroboyo sukses menyabet penghargaan Pelestari Budaya berkat dedikasi luar biasa dalam menjaga warisan budaya Reog Ponorogo tanpa sepeser pun bantuan dari pemerintah kota. Foto iNewsSurabaya/ist
Panitia festival memberikan penghargaan atas “Dedikasi Tinggi dalam Pelestarian Seni Tradisi”. Apresiasi ini bukan semata-mata karena penampilan panggung, tapi juga atas proses panjang yang mereka tempuh proses yang penuh pengorbanan, kolaborasi, dan ketulusan.
Dari total 42 kelompok Reog dari berbagai daerah, Laskar Wani Suroboyo menonjol berkat energi panggung yang membakar, kendang khas Surabaya, dan aransemen musik yang menyatu dalam semangat kaum muda.
Yang lebih mengesankan, komunitas ini melangkah tanpa kurasi, tanpa fasilitasi, bahkan tanpa dukungan logistik dari Pemkot Surabaya. Namun, mereka tetap menjunjung tinggi nama kota tercinta.
“Kami tidak menolak bantuan, tapi kami ingin didengar. Pemerintah harus lebih membuka ruang untuk komunitas seperti kami,” ucap Bayu.
Meski tak menerima pendanaan resmi, mereka tak sendiri. Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, memberi dukungan moral dan melepas keberangkatan mereka secara simbolis.
“Berkat semangat dari Cak Ji, bara perjuangan kami makin menyala. Ini sejalan dengan prinsip Trisakti Bung Karno: berkepribadian dalam kebudayaan,” tambah Bayu. “Kami tambah wani obah, karena kami ingin berubah.” lanjutnya.
Selain prestasi seni, komunitas ini juga membawa pesan penting tentang egaliterisme budaya. Bagi mereka, setiap warga—apa pun latar belakangnya—berhak menjaga dan melestarikan budaya. Tidak harus birokrat, tidak perlu gelar, cukup dengan niat dan kerja nyata.
“Egaliter artinya setara. Budaya harusnya terbuka bagi siapa saja yang mau menjaga, bukan dikunci oleh anggaran atau regulasi,” tegas Bayu.
Kisah Reog Laskar Wani Suroboyo menjadi bukti bahwa pelestarian budaya bisa lahir dari komunitas, bukan hanya dari sistem. Mereka adalah contoh nyata bahwa cinta terhadap tradisi bisa menembus batas birokrasi.
Penghargaan ini bukan sekadar simbol, melainkan pengingat: bahwa kota besar seperti Surabaya memiliki kekayaan budaya yang dijaga dengan semangat oleh warganya sendiri. Tanpa harus menunggu anggaran, mereka telah lebih dulu bergerak.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
