SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Inovasi energi bersih datang dari tanah air. Di Jonggol, Bogor, sebuah terobosan lahir dari tangan M. Ikhlas Tamrin dan tim PT Inti Sinergi Formula: Bobibos, bahan bakar nabati berbasis jerami padi yang mampu mencapai RON 98,1.
Bahan yang selama ini dianggap limbah ternyata bisa berubah menjadi sumber energi dengan emisi rendah. Sebuah capaian yang tidak hanya membanggakan, tetapi juga menunjukkan betapa besarnya potensi biomassa Indonesia jika dikelola dengan visi jangka panjang.
Namun di balik rasa bangga itu, muncul satu pertanyaan besar: apakah negara benar-benar siap mendampingi inovasi sebesar ini? Atau kita sedang menyaksikan episode lama penemuan lokal yang viral sesaat, lalu meredup tanpa arah karena minimnya dukungan sistemik?
Bobibos menjadi simbol bagaimana kreativitas bisa mengubah paradigma lama. Jerami, yang selama puluhan tahun dibakar begitu saja setelah panen, kini memiliki nilai ekonomi baru. Jika skala produksi berkembang, petani bukan hanya menjual gabah, tetapi juga mendapatkan pemasukan tambahan dari limbah pertanian.
Dari sisi sosial-ekonomi, potensi ini besar sekali. Indonesia memiliki jutaan hektare sawah yang tiap musim menghasilkan limbah biomassa dalam jumlah masif. Ketika teknologi seperti Bobibos hadir, kita seharusnya melihat peluang memperkuat kedaulatan energi, bukan sekadar inovasi teknis.
Sayangnya, peluang sebesar ini justru terhambat oleh hal-hal paling klasik di Indonesia: legalitas, regulasi, dan kejelasan peran negara.
Hingga kini Bobibos tidak tersedia secara bebas. Penjelasannya sederhana: belum ada mekanisme legal, uji pasar, dan standar yang menjamin produk dapat didistribusikan ke publik. Informasi bahwa hasil uji Lemigas berada dalam “perjanjian rahasia” justru membuat publik bertanya:
Mengapa teknologi yang berdampak besar bagi masyarakat diperlakukan dengan cara yang tidak transparan?
Padahal, prinsip keterbukaan sudah jelas.
UUD 1945 Pasal 28F menjamin hak publik atas informasi. Dan UU KIP mewajibkan badan publik membuka data terkait kebijakan yang berdampak luas.
Jika uji biofuel saja dirahasiakan, bagaimana publik bisa memahami prospek dan keamanan penggunaannya?
Peran Negara: Memfasilitasi, Bukan Mengambil Alih
Satu hal yang harus dipahami sejak awal: Bobibos bukan program pemerintah. Ini murni hasil inisiatif swasta. Artinya, negara tidak bisa datang tiba-tiba dengan pendekatan “mengambil alih” tanpa dasar hukum dan perencanaan APBN yang tepat.
Dalam konteks governance, negara seharusnya:
menciptakan regulasi yang kondusif, membantu standardisasi, memberi insentif riset dan hilirisasi, memastikan ekosistem inovasi tidak mematikan penemu lokal.
UU Sistem Nasional IPTEK sebenarnya sudah memberi ruang untuk itu. Persoalannya, apakah ruang itu benar-benar dimanfaatkan?
Ikhlas Tamrin hanyalah satu dari banyak peneliti yang berjuang sendirian. Ia tidak berada di laboratorium besar atau perusahaan energi raksasa. Namun ia mampu menciptakan teknologi yang bahkan negara pun belum tentu bisa menghasilkan dalam konteks birokrasi yang lamban.
Kita pernah melihat kisah serupa: mobil listrik Selo yang sempat menjadi kebanggaan nasional, tetapi kemudian stagnan karena dukungan regulasi tidak hadir pada waktunya.
Di dunia inovasi, yang sering membunuh penemuan bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan ekosistem yang tidak bersahabat:
proses paten yang berbelit, biaya perlindungan HKI yang tinggi, minimnya pendanaan tahap awal, dan regulasi energi yang masih sangat fossil-centric.
Tanpa perlindungan paten yang cepat dan kuat, inovasi seperti Bobibos sangat rentan ditiru atau direbut pihak lain. Dan inilah ironi yang sering terjadi: penemunya orang Indonesia, tetapi nilai ekonominya dinikmati pihak di luar negeri.
Energi Alternatif dan Tantangan Regulasi
Jika kita bicara energi masa depan, biofuel seperti Bobibos tidak bisa dilihat sebagai proyek kecil. Ini bagian dari peta besar transisi energi nasional. Namun selama struktur regulasi energi masih didominasi logika monopoli dan izin berlapis, inovasi semacam ini akan selalu terbentur sebelum masuk tahap produksi massal.
Padahal jika negara benar-benar serius, Bobibos bisa memberi dampak besar: Memperkuat bauran energi hijau di tengah tekanan global untuk mengurangi emisi, Memberi ruang bagi industri lokal tumbuh, alih-alih mengimpor teknologi energi dari luar negeri, Menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan melalui pengolahan biomassa. Pertanyaannya sederhana: Apa yang negara tunggu?
Bobibos adalah cermin dari potensi besar yang sering tidak diberi tempat di negeri sendiri. Jika negara hanya memberi pujian tanpa kebijakan konkret, maka inovasi ini berisiko mengalami nasib yang sama seperti banyak penemuan lokal lainnya—viral sebentar, hilang tanpa jejak.
Negara perlu hadir, tetapi dengan cara yang tepat: mengawal, memfasilitasi, dan memberi ruang inovasi untuk tumbuh, bukan membungkusnya dalam birokrasi.
Karena pada akhirnya, masa depan energi Indonesia tidak ditentukan oleh seberapa besar cadangan fosil kita, tetapi seberapa serius kita merawat kreativitas anak bangsa.
Bagaimana menurut Anda — apakah Bobibos akan mendapat jalan terang, atau justru terjebak dalam labirin regulasi seperti inovasi sebelumnya?
Penulis:
Prof. Dr. Hufron, SH. MH. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto
