get app
inews
Aa Text
Read Next : Jawa Timur Dorong Digitalisasi Pendidikan, Guru SMK Dibekali Bimtek Pemanfaatan Teknologi

Pendidikan Berkualitas, Mimpi Lama yang Belum Tuntas

Sabtu, 08 November 2025 | 16:36 WIB
header img
Pendidikan merata di Indonesia masih jauh dari SDGs 4. Kurikulum berganti, mutu tak berubah. Saatnya pendidikan jadi aksi nyata, bukan janji politik. Foto iNewsSurabaya/tangkap layar

SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2015, dunia punya cita-cita bersama: membangun masa depan yang berkelanjutan hingga 2030. Dari 17 tujuan besar itu, SDG 4 menjadi salah satu yang paling krusial — memastikan pendidikan yang inklusif, merata, dan berkualitas untuk semua.

Namun di Indonesia, cita-cita ini masih berjarak jauh dari kenyataan. Meski konstitusi menjamin hak atas pendidikan bagi setiap warga negara, ketimpangan akses dan kualitas masih terasa tajam antara kota besar dan daerah terpencil.

Di atas kertas, pendidikan adalah hak semua anak Indonesia. Tapi di lapangan, fakta berkata lain. Anak-anak di daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal) masih berjuang menempuh jarak puluhan kilometer hanya untuk sampai ke sekolah. Gedung belajar rusak, buku terbatas, dan guru berstatus honorer menjadi pemandangan biasa. Ironisnya, di kota besar, sekolah internasional tumbuh pesat dengan fasilitas lengkap — menciptakan jurang yang makin dalam antara “sekolah elit” dan “sekolah bertahan hidup”.

Pertanyaannya: sampai kapan kesenjangan ini dianggap normal?

Masalah pendidikan bukan hanya soal akses, tapi juga arah kebijakan yang tidak konsisten. Dalam dua dekade terakhir, Indonesia sudah berkali-kali mengganti kurikulum — dari KTSP 2006, Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat pandemi, hingga Kurikulum Merdeka.

Setiap pergantian membawa semangat baru, tapi juga kebingungan baru. Guru harus beradaptasi lagi, sekolah menyesuaikan administrasi lagi, dan murid... menjadi korban eksperimen kebijakan.

Alih-alih menumbuhkan inovasi, perubahan yang terlalu sering justru membuat kualitas pembelajaran stagnan. Pendidikan seharusnya memberi kepastian arah belajar, bukan ketidakpastian setiap kali kursi menteri berganti.

Sistem Zonasi: Niat Baik yang Masih Setengah Jalan

Ketika sistem zonasi PPDB diberlakukan, tujuannya mulia: agar anak dari semua kalangan bisa bersekolah tanpa diskriminasi jarak atau status sosial. Namun dalam praktiknya, zonasi belum benar-benar menciptakan pemerataan.

Jika kita bandingkan dengan Jepang — negara yang menjadi inspirasi sistem ini — kualitas antar sekolah di sana hampir sama, sehingga zonasi berjalan mulus. Di Indonesia, kualitas sekolah masih timpang. Sekolah “favorit” tetap jadi rebutan, sementara sekolah di pinggiran kurang diminati.

Data PISA 2022 membuktikan ketimpangan ini. Skor matematika siswa Jepang mencapai 536 (peringkat 5 dunia), sedangkan Indonesia hanya 388 (peringkat 69). Angka yang seharusnya jadi alarm keras bahwa pemerataan mutu guru dan fasilitas belum berjalan.

Kebijakan pendidikan di Indonesia kerap berubah seiring pergantian pejabat. Padahal, pendidikan bukan proyek lima tahun — ini investasi jangka panjang bangsa.

Jika setiap menteri datang membawa “branding” baru tanpa kesinambungan, maka anak-anak Indonesia hanya akan menjadi korban eksperimen kebijakan. SDGs 4 tidak akan tercapai jika arah pendidikan lebih sering diwarnai ego politik dibanding komitmen terhadap mutu.

Pendidikan yang layak bukan hadiah, tapi hak konstitusional. Setiap anak Indonesia berhak mendapat guru kompeten, ruang belajar aman, dan kesempatan berkembang sesuai potensinya.

Pemerintah, sekolah, dan masyarakat harus berhenti bekerja sendiri-sendiri. Diperlukan sinkronisasi antara kebijakan pusat, kesiapan guru, dan dukungan teknologi agar pendidikan benar-benar menjadi jalan pemerataan sosial, bukan sekadar janji di atas kertas.

Masa depan bangsa ada di ruang kelas hari ini. SDGs 4 bukan sekadar agenda global, tapi cermin keseriusan Indonesia dalam menyiapkan generasi yang tangguh, kritis, dan berdaya saing.

Sudah saatnya kita berhenti mengukur kemajuan pendidikan dari banyaknya kurikulum baru atau sekolah unggulan. Ukuran sesungguhnya adalah ketika anak dari Papua, Jawa, hingga Aceh punya kesempatan belajar yang sama dan berkualitas.Karena pendidikan yang adil bukan sekadar cita-cita — itu adalah janji kemanusiaan yang harus ditepati.

Penulis :  

Keisha Elmira Azizah – Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut