get app
inews
Aa Text
Read Next : Keteladanan Gus Dur Jadi Cermin Kepemimpinan Generasi Muda

Mahasiswa UWP Bedah Kontroversi Gelar Pahlawan Soeharto: Legalitas Sah, Keadilan HAM Belum Usai

Kamis, 11 Desember 2025 | 13:59 WIB
header img
Kajian hukum di Universitas Wijaya Putra mengungkap dua sisi Orde Baru. Dr. Erry Meta menilai legalitas Soeharto terpenuhi, namun aspek keadilan dan HAM harus tetap dipertimbangkan. Foto iNewsSurabaya/ist

SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Perdebatan mengenai penobatan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali mencuat dan menarik perhatian kalangan akademisi. Isu ini juga menjadi sorotan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra (FH UWP) yang menggelar Kajian Hukum bertema “Polemik Penobatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional”, Rabu (10/12/2025) di Aula UWP.

Acara ini menghadirkan Dr. Erry Meta, S.H., M.H., akademisi sekaligus advokat yang pernah menjadi saksi langsung dinamika Reformasi 1998. Diskusi dipandu oleh Aisyah Kholila Salsabila selaku moderator, serta Elki Forlando dan Nazwa Fa’adila Putri Suryanto sebagai pemandu acara.

Di hadapan mahasiswa, Dr. Erry Meta mengajak peserta melihat ulang dua wajah Orde Baru. Di satu sisi, pemerintahan Soeharto kerap dikenang karena stabilitas ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang masif setelah badai inflasi era Orde Lama. Namun, sisi gelapnya tidak bisa dilupakan.

“Di balik pembangunan, ada catatan pelanggaran HAM berat seperti pembantaian masyarakat sipil pasca G30S PKI 1965, termasuk praktik KKN yang merajalela,” ungkap Erry dengan nada tegas.

Ia menekankan bahwa secara legal-formal, Soeharto memang memenuhi syarat administratif sebagai Pahlawan Nasional. Tetapi, menurutnya, penilaian sosok sejarah tidak bisa bertumpu pada legalitas semata.

“Pertanyaan besarnya adalah: apakah kita sudah memberikan ruang bagi korban dan keluarga yang menanti keadilan? Penetapan gelar pahlawan tidak boleh mengabaikan aspek moral dan kemanusiaan,” tambahnya.

Erry menjelaskan bahwa keputusan penetapan gelar pahlawan—yang merupakan Keputusan Presiden—secara hukum dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Karena bersifat beschikking, keputusan tersebut membuka ruang bagi masyarakat untuk mengajukan keberatan jika ada pihak yang merasa dirugikan.

Ketua pelaksana kegiatan, Charlina Selviani Mano, mengatakan tema diskusi dipilih karena bersinggungan langsung dengan momentum Hari HAM Internasional yang jatuh pada 10 Desember.

“Kita melihat banyak pro dan kontra mengenai gelar pahlawan untuk Soeharto. Ada yang melihat jasanya, tetapi tidak sedikit pula yang mengorek kembali pelanggaran HAM dan praktik KKN di masa Orde Baru,” ujarnya.

Diskusi ini menjadi ruang bagi mahasiswa untuk memahami dinamika sejarah, hukum, dan etika secara lebih komprehensif.

Dekan FH UWP, Dr. Andy Usmina Wijaya, S.H., M.H., memberikan apresiasi kepada BEM FH UWP yang konsisten menghidupkan kajian-kajian hukum selama setahun terakhir.

“Kegiatan seperti ini penting untuk membentuk mahasiswa yang kritis, tetapi tetap berpikir dalam koridor etika dan kaidah hukum,” ujarnya.

Menurut Andy, diskusi yang mengangkat isu-isu sosial seperti ini sejalan dengan konsep Sociopreneurlegalship yang tengah diterapkan fakultas, yakni mendorong mahasiswa untuk peka terhadap masalah publik dan berkontribusi melalui solusi berbasis hukum.

 

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut