SURABAYA, iNews.id - Angka perkawinan anak masih saja melambung tinggi. Di tengah upaya pencegahan dan perlindungan pada anak dan perempuan, jumlah perkawinan anak masih terjadi di berbagai daerah.
Tercatat, sepanjang 2021 ada 17.585 pengajuan dispensasi yang diterima oleh Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Jawa Timur.
“Angka yang tinggi ini, menunjukan betapa besar kasus perkawinan anak di Jawa Timur, dan bukan tidak mungkin ini hanya fenomena gunung es karena ada yang jumlahnya tidak tercatat,” kata Ketua BKOW Jawa Timur, Garjati Heru Cahyono dalam Seminar dan Penandatanganan MoU Pencegahan Perkawinan Anak bersama UNICEF yang dihadiri oleh 44 Organisasi Wanita dibawah koordinasi BKOW, Senin (5/9/2022).
Ia melanjutkan, penandatanganan MoU ini ditujukan untuk mewujudkan Harkat dan Martabat Perempuan yang dapat Berpartisipasi dalam Pembangunan di Provinsi Jawa Timur.
Kolaborasi yang dibangun bisa menjadi langkah kuat dalam membangun pondasi pencegahan perkawinan anak.
“Penutupan sekolah, tekanan ekonomi, gangguan layanan, kematian orang tua karena pandemi membuat anak perempuan lebih berisiko untuk menikah di bawah umur,” ungkapnya.
Sejak Januari-Mei 2022 sudah ada 5.285 perkara perkawinan anak yang diputus Pengadilan Agama berdasarkan data DP3AK Jawa Timur.
Melihat situasi ini, BKOW Provinsi Jawa Timur sebagai organisasi perempuan yang beranggotakan 44 organisasi Wanita dari berbagai macam latar belakang, pendidikan, agama maupun profesi, berupaya untuk bersinergi dan berkolaborasi dalam program pencegahan perkawinan anak.
“Selain upaya pencegahan perkawinan anak, BKOW juga berkomitmen untuk mempermudah akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan serta keterampilan hidup. Hal ini ditujukan untuk kegiatan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk di ranah daring,” ucapnya.
Kepala Dinas P3AK Jawa Timur, Restu Novi Widiani menuturkan, masa depan kita dibangun oleh kesejahteraan anak-anak dan perempuan hari ini. Perkawinan anak harus bisa terus dicegah.
Karena, 40% mereka yang menjalani perkawinan anak, maka bisa terlahir anak stunting kalau pernikahan anak ini terus terjadi.
“Bayi pun terlahir prematur dan kematian sebelum usia setahun. Bahkan, 85% anak perempuan mengakhiri pendidikan setelah menikah,” kata Novi.
Ia menambahkan, banyak data di lapangan yang menyebutkan kalau perempuan tidak lagi melanjutkan pendidikan karena sudah merawat bayi.
Pendidikan yang menjadi bekalnya dalam kehidupan tak lagi menjadi penting. “Ada juga data kalau 41% kekerasan keluarga dianggap wajar oleh pihak perempuan yang mereka sudah melakukan perkawinan anak,” ungkapnya.
Kepala Perwakilan UNICEF Wilayah Jawa, Arie Rukmantara menyampaikan apresiasinya kepada BKOW dan seluruh organisasi yang tergabung atas komitmen bersama untuk melakukan kampanye pencegahan perkawinan anak.
“Pencegahan Perkawinan Anak perlu dilakukan secara kolaboratif dan terintegratif, kehadiran dan komitmen BKOW merupakan upaya untuk memastikan tidak ada satu pun anak yang tertinggal atau kita kenal sebagai no child left behind”,” kata Arie.
Arie juga menambahkan bahwa upaya pencegahan perkawinan anak sejalan dengan pencapaian SDG Tujuan ke-5 untuk penghapusan perkawinan anak dan Tujuan ke-16 untuk Perlindungan Anak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jika masalah perkawinan usia anak di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah berhasil diselesaikan, maka sama halnya pemerintah berhasil menekan hampir 50 persen beban kasus perkawinan usia anak secara nasional.
“Di Provinsi Jawa Timur Jatim sebanyak 12,71 persen anak perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Selama Masa Pandemi COVID-19, situasi perkawinan anak di Indonesia semakin tidak dapat dihindari,” ucapnya.
Di Indonesia perkawinan anak akan berdampak terhadap tingkat Pendidikan anak, anak perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun berpeluang empat kali lebih rendah untuk menyelesaikan pendidikan menengah atau setara.
Kemudian perkawinan anak akan menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7% dari PDB di Indonesia.
Berdasarkan data kementerian PPPA, 40% anak yang dilahirkan karena kasus perkawinan anak berisiko stunting.
Untuk itu kolaborasi dan sinergisitas dalam pencegahan perkawinan anak merupakan langkah penting untuk memastikan masa depan yang aman bagi anak-anak di Indonesia.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait