SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Gerakan buruh di Indonesia lahir bersamaan dengan bangkitnya kesadaran berbangsa. Ironisnya kendati gerakan buruh punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan akan tetapi buruh bukanlah sektor yang benar-benar menikmati buah kemerdekaan.
Salah satu persoalannya adalah sejak Orde Baru hingga sekarang politik Gerakan buruh dilemahkan. Bahkan di jaman Orde Baru kemerdekaan berserikat benar-benar dibatasi. Jangankan memperjuangkan hak politiknya, perjuangan hak normatif saja ditindas.
Pertanyaannya, bisakah kaum buruh mengubah nasib tanpa gerakan politik?
Tidak bisa, kata Presiden Soekarno. Menurut dia, tanpa menghancurkan kapitalisme kaum buruh tidak bisa memperbaiki hidupnya seratus persen.
“Nasib kaum buruh tidak bisa langsung diperbaiki selama system kapitalisme masih merajalela,’ katanya.
Presiden Soekarno menampik apa yang disebutnya mimpi, “hangat-hangat bersarang di dalam kapitalisme”.
Maksudnya tidak mungkin kaum buruh bisa menikmati kesejahteraan di bawah system kapitalisme yang menghisap. Presiden Soekarno menganggap mimpi semacam itu sangat mustahil.
Sebagai seorang yang paham betul tentang ajaran Marxisme, Presiden Soekarno sadar betul bahwa antara modal/kapital dan tenaga kerja tidak bisa didamaikan.
“Ini pertentangan yang tidak bisa dihapus,” katanya.
“Bahkan professor-profesor botak dak sekolah-sekolah tinggi pun tidak akan sanggup menghapusnya,” tambahnya.
Dalam relasi produksi kapitalis, ada pertentangan yang tidak bisa didamaikan antara kapitalis dan pekerja. Di satu sisi, si kapitalis sebagai pemilik modal ingin menumpuk keuntungan. Untuk itu si kapitalis akan menekan biaya produksi. Dan biaya produksi satu-satunya yang bisa ditekan oleh si kapitalis adalah upah buruh.
Selain itu si kapitalis juga berusaha memperpanjang jam kerja. Di sisi lain ada klas pekerja sebagai kumpulan manusia yang tak memiliki alat produksi. Satu-satunya cara mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah dengan menjual tenaga kerjanya.
Oleh karena itu sudah menjadi hukum besi kapitalisme, keuntungan meningkat karena mengeksploitasi tenaga kerja. Caranya dengan mempertahankan upah rendah tetapi jam kerja meningkat.
Maka perjuangan alamiah pekerja di seluruh muka bumi ini dan dalam sepanjang sejarah kapitalisme adalah memperbaiki kondisi kerja, memperpendek jam kerja dan menaikkan upah.
Presiden Soekarno sadar betul, lantaran logika kapitalis yang sekedar cari untung itu, maka si kapitalis harus terus-menerus menumpuk nilai tambah.
“Ujung-ujungnya adalah kemiskinan,” jelasnya.
Untuk itu dia menyimpulkan jika hendak mengakhiri penindasan termasuk di pundak kaum pekerja maka sistem kapitalisme harus dihapuskan. Dan demikian yang mulia itu, tidak bisa tidak, perjuangan kaum buruh haruslah berwatak politik. Dan watak politik perjuangan buruh haruslah bersifat anti-kapitalisme.
Kebebasan Politik
Dalam risalah berjudul “Bolehkah Serekat-Serekat Berpolitik?”, Presiden Soekarno membeberkan berbagai alasan mengapa gerakan buruh harus menjelma menjadi gerakan politik. Menurut Soekarno perjuangan politik paling minimum serendah-rendahnya imam politik adalah mempertahankan nasib/keadaan politik.
Keadaan politik yang dimaksud adalah sebuah kondisi yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik dan bebas berpendapat. Oleh karena itu Presiden Soekarno selalu menganjurkan serikat buruh paling minimal harus memperjuangkan keadaan politik yang memungkinkan baginya untuk bebas berserikat, melancarkan protes dan memperjuangkan nasibnya.
“Subur dan kuatnya serikat buruh tergantung pada keadaan politik,” tegasnya.
Politik Machtsvorming
Presiden Soekarno menyebut serikat buruh yang menolak politik tidak bisa disebut badan perjuangan sebab sebuah badan perjuangan seharusnya memperjuangkan perubahan nasib buruh setinggi-tingginya.
Dia menyebut serikat buruh yang menghindari politik sebagai badan permintaan. Sebab serikat buruh itu tidak berusaha mendobrak struktur ekonomi politik yang menindas buruh akan tetapi hanya berharap kebaikan pengusaha dan belas kasihan pemerintah.
“Politik meminta-minta satu kali bisa mendapatkan hasil, tetapi sembilan puluh sembilan kali niscaya gagal,” tegasnya.
Presiden Soekarno menegaskan, perbaikan Nasib bagi kaum buruh termasuk kenaikan upah dan pengurangan jam kerja hanya mungkin terjadi bila Gerakan buruh punya kekuatan atau daya tekan untuk memaksa pengusaha.
Tanpa melakukan desakan yang kuat maka pengusaha akan bergeming. Untuk itu gerakan buruh harus melakukan machtsvorming, yakni membangunkan kekuatan massa.
Machtsvorming berarti mewadahi kaum buruh sebanyak-banyaknya ke dalam serikat buruh lalu mendidik mereka dengan kursus-kursus dan terbitan politik kemudian melancarkan perlawanan melalui aksi mogok, aksi massa dan rapat umum.
Hanya dengan machtsvorming-lah, kata Presiden Soekarno, “kutub modal akan dikalahkan oleh kutub kerja, kutub kapitalisme dikalahkan oleh kutub proletariat, diganti dengan sintesa baru yaitu sintesanya dunia yang tiada kelas”
Jadi Presiden Soekarno bukan saja mendukung perlunya serikat buruh berpolitik akan tetapi juga mendukung hadirnya sebuah partai yang menghimpun kaum buruh.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait