Organisasi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Tak Baik-Baik Saja, Akankah Senasib dengan Advokat?

OPINI
KRT. Sudarmono S,H.,M.H. Praktisi Hukum dan apt. Primadi Avianto, M.Farm.Klin. Apoteker Praktisi Apotek (Community Pharmacist).

Lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang membawa semangat wadah tunggal organisasi profesi (single bar) didalamnya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 bahwa “organisasi profesi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai Undang-undang ini”. 

Lahirnya UU Advokat tadinya digadang-gadang akan dapat menghilangkan ambiguitas dalam penegakan kode etik profesi dimana kriteria etis dan tidak etis hanya dapat menggunakan satu interpretasi menurut garis kebijakan organisasi profesi.

Dengan adanya wadah tunggal organisasi profesi akan memudahkan pengawasan (controlling), pengenaan sanksi terhadap pelanggaran kode etik, serta secara tidak langsung akan berdampak pada kualitas profesi. 

Namun wadah tunggal profesi advokat tidak dapat terwujud karena faktanya saat ini ada lebih dari 1 (satu) organisasi profesi advokat di Indonesia.

Pada tahun 2023 Rancangan Undang-undang Omnibus Law Kesehatan telah disahkan yang menghadirkan berbagai macam reaksi salah satunya adalah reaksi penolakan dari berbagai pihak di sektor kesehatan karena RUU Omnibus Law Kesehatan dianggap terlalu terburu-terburu dalam perancangannya tanpa melibatkan peran serta dan tidak menggubris urun rembuk tenaga medis ataupun tenaga kesehatan di Indonesia. 

Adapun serangkaian sosialisasi, public hearing (dengar pendapat), seminar dan FGD (focus group discussion) dikebut dan rasanya sebatas formalitas belaka. Pada rancangan UU Omnibus Law Kesehatan terdapat pasal yang secara tidak langsung menyatakan bahwa organisasi profesi Tenaga Medis atau Tenaga kesehatan akan dimungkinkan menjadi banyak (multi bar) seperti yang disebutkan dalam Rancangan UU Omnibus Law Kesehatan pada Pasal 475 

“Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Organisasi Profesi yang telah berbadan hukum sebelum berlakunya Undang-undang ini tetap diakui keberadaannya sesuai dengan ketentuan, Undang-undang ini dan harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan”.

Pasal 475 dalam penjelasannya menyebutkan “yang dimaksud dengan organisasi profesi antara lain Ikatan Dokter Indonesia untuk Dokter, Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk Dokter Gigi, Ikatan Bidan Indonesia untuk Bidan, Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk Perawat, Ikatan Apoteker Indonesia untuk Apoteker”.  

Artinya bahwa setiap organisasi yang sudah ada sebelum UU Omnibus Law Kesehatan diberlakukan yang telah berbadan hukum tetap diakui keberadaanya. Namun di satu sisi RUU Omnibus Law mengamanatkan adanya wadah tunggal organisasi profesi sebagaimana pada Pasal 314 ayat (2) yang menyebutkan “setiap kelompok tenaga medis dan tenaga kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi”. 

Tentu saja Pasal 475 dengan Pasal 314 saling bertentangan apakah pembentuk Undang-undang mencermati hal tersebut atau tidak.

Kalau pembentuk UU Omnibus Law Kesehatan mengamini adanya wadah tunggal profesi, maka seharusnya Pasal 475 ditiadakan atau diganti dengan penegasan bahwa hanya ada satu organisasi profesi tunggal profesi yang akan menjalan tugas dan fungsinya dalam melakukan penegakan kote etik profesi  dari Ikatan Dokter Indonesia untuk Dokter, Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk Dokter Gigi, Ikatan Bidan Indonesia untuk Bidan, Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk Perawat, Ikatan Apoteker Indonesia untuk Apoteker, sedangkan organisasi yang lain yang sudah ada sebelum UU Omnibus Law di berlakukan harus tunduk pada organisasi profesi yang disebutkan didalam UU Omnibus Law Kesehatan. 

Kita dapat bercermin dari organisasi profesi advokat yang terpecah belah, dimana masing-masing organisasi profesi advokat diberikan kewenangan untuk melakukan pendidikan, pengangkatan advokat, pengawasan dan penegakan kode etik profesi. Dengan demikian apabila ada advokat yang melakukan pelanggaran kode etik profesi akan dengan mudahnya ia berpindah ke organisasi profesi advokat lainnya, hal ini harusnya menjadi perhatian bagi pembuat UU Omnibus Law Kesehatan agar profesi tenga medis dan tenaga kesehatan menjadi organisasi yang memiliki satu organisasi profesi dalam rangka meningkatkan kualitas, pengawasan dan penegakan kode etik dan disiplin profesi.

Perlu disadari bersama, kelak dengan berlakunya RUU Omnibus Law Kesehatan yang membuka peluang adanya lebih dari satu organisasi profesi untuk masing-masing jenis maka yang paling dirugikan adalah masyarakat sebagai penerima layanan dari tenaga medis dan tenaga kesehatan. Saat ini, sebagaimana telah berjalan selama puluhan tahun, organisasi profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan telah menjadi mitra pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kompetensi, pengawasan dan penegakan kode etik dan disiplin anggotanya. 

Mungkin hal ini tidak nampak terang didepan publik, namun dengan peran serta organisasi profesi kesehatan yang berjalan itu, masyarakat hanya akan dilayani oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan yang kompeten dan dalam pelayanan yang diberikan memegang tali etika dan disiplin profesi.

Juga perlu diingat, selagi bangsa kita menghadapi pandemi, tak terhitung jasa organisasi profesi kesehatan bersatu padu menggerakkan, mengkoordinir dan menyiapkan anggotanya sebagai salah satu garda terdepan sedemikian hingga kapal NKRI dapat terus berlayar bahkan selamat melewati badai pandemi COVID-19. 

Dalam hal ini, pemerintah layak mendapat apresiasi karena menjadikan organisasi profesi sebagai mitra eratnya dalam menghadapi pandemi sampai saat ini kita hampir melewatinya.

Perlu menjadi catatan bersama, bahwa adanya multi bar organisasi profesi kesehatan ini tidak akan menjadi panacea (obat segala penyakit) dari beragam permasalahan sektor kesehatan yang kita hadapi di negeri tercinta. Sangat mungkin multi bar organisasi profesi kesehatan akan membawa seabreg masalah baru yang akan menyita waktu dan tenaga baik pemerintah maupun dari tenaga medis dan tenaga kesehatan yang mestinya lebih banyak melakukan pelayanan kepada masyarakat. 

Perlu dibahas dan dipikirkan bersama, resiko-resiko serta mitigasinya misalnya terkait pengawasan etika, disiplin profesi dan standar kompetensi profesi sampai dengan standar praktik, jika memang keinginan pemerintah untuk menjadikan multi bar organisasi ini sudah tak terbendung.

 

Penulis :

KRT. Sudarmono S,H.,M.H. 

Praktisi Hukum dan apt. Primadi Avianto, M.Farm.Klin. Apoteker Praktisi Apotek (Community Pharmacist).  

Editor : Arif Ardliyanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network