Problematika Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia, Apa Itu?

SOLUSI HUKUM
Oktavianto Prasongko, SH, M.Kn

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan suatu lembaga hukum perdata sebagai realisasi dari dua asas pokok yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan sebagai berikut, “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru terhadap Undang-Undang Kepailitan (UU No.4 Tahun 1998) ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.

Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata menentukan sebagai berikut dibawah ini, “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

Tindakan Pailit adalah suatu sitaan umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Harta Pailit akan dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tagihan Kreditor. Prinsip Kepailitan yang demikian ini merupakan realisasi dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu kebendaan milik Debitor menjadi jaminan bersama-sama bagi semua Kreditor yang dibagi menurut prinsip keseimbangan “Pari Pasu Prorata Parte”.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diatas jelaslah bahwa apabila debitor lalai dalam memenuhi kewajibannya atau prestasinya, kreditor diberikan hak untuk melakukan pelelangan atas harta benda debitor. Hasil penjualan (pelelangan) itu harus dibagi secara jujur dan seimbang diantara para kreditor sesuai dengan perimbangan jumlah piutang masing-masing.

Pada umumnya kepailitan berkaitan dengan utang debitor atau piutang kreditor. Seseorang kreditor mungkin saja memiliki lebih dari satu piutang atau tagihan dan piutang atau tagihan yang berbeda-beda itu diperlukan pula secara berbeda-beda di dalam proses kepailitan.

Implementasi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004) malah tak semudah yang dibayangkan. “Justru lebih berat dai UU Kepailitan Tahun 1998. Padahal krisis moneter sudah lewat”.

Substansi UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan hakekat dari hukum kepailitan. UU Kepailitan seolah menjadi mesin pembunuh bagi kelanjutan usaha debitor. Beberapa permasalahan terjadi, antara lain syarat minimum kreditor sebagai pemohon pailit yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) dan jangka waktu PKPU yang sangat singkat yang diajukan oleh kreditor sebagai pemohon PKPU.

Debitor dipaksa untuk mengajukan proposal perdamaian untuk seluruh kreditor. Idealnya kreditor juga mengajukan proposal perdamaian, kreditor separatis berhak mempailitkan dan ikut dalam voting tanpa kehilangan hak atas agunannya.

Dalam hal ini ada ketidakadilan, tingginya syarat perhitungan suara dan harus dipenuhi syarat komulatif voting kreditor konkuren dan kreditor separatis yang diatur dalam Pasal 281 UU 37/2004. Dalam praktek sering terjadi hanya kurang lebih satu tahun sesudah homologasi atas composition plan ternyata debitor gagal bayar karena memang sejak awal telah dipaksa, honorarium atau fee pengurus sangat tinggi.

Upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada adalah dengan cara melakukan revisi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004. Seharusnya PKPU diajukan oleh debitor dan seharusnya hukum kepailitan dan PKPU memberikan waktu cukup bagi perusahaan. Hukum kepailitan dan PKPU mestinya tidak hanya memperhatikan kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja.

Perlu dikaji dan dilihat secara detail apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk. Hukum kepailitan dan PKPU di Indonesia harus memperhatikan Kesehatan keuangan dari debitor. Prosedur permintaan dan penetapan sita jaminan harus lebih ditegaskan pengaturannya.

Bahwa lahirnya UU 37/2004 ini merupakan “ketundukan” Indonesia kepada International Monetary Fund (IMF) saat mengalami krisis. Para kreditur khususnya asing mempunyai banyak tagihan dan uangnya belum bisa kembali. Pada waktu itu dibahas bahwa seharusnya yang boleh mengajukan permohonan pailit dan PKPU itu adalah debitor karena mereka yang mengetahui keadaan usahanya atau kesanggupan membayar utang dan sebagainya.

Karena situasi politik pada waktu itu, para pihak asing itu memberikan kesempatan pada UU itu siapa yang boleh mengajukan pailit adalah juga termasuk kreditor. Setelah UU tersebut disahkan, pihak yang berwenang mengajukan permohonan kepailitan dan PKPU tersebut, saat ini menjadi instrumen untuk menagih utang meskipun harus dipahami bahwa perlu juga diberikan perlindungan bagi kreditor.

Setelah ada UU Kepailitan dan PKPU, paradigm itu runtuh karena ketentuannya kalau ada 2 utang jatuh tempo yang bisa ditagih tetapi tidak dibayar, maka perusahaan yang ditagih itu cukup memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit. Seharusnya ada ambang batas (threshold) jumlah utang dengan aset yang dimiliki suatu perusahaan atau seseorang untuk dapat dinyatakan pailit, bukan hanya dibuktikan dengan 2 utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih tetapi tidak dibayar.

Penulis :  Oktavianto Prasongko, SH, M.Kn
Kantor Hukum Oktavianto & Associates 
Jalan Patua Nomor 21-C, Kota Surabaya
Kontak telpon/ WhatsApp :  0877-2217-7999
Email :  inewssurabaya.id@gmail.com

Editor : Arif Ardliyanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network