JAKARTA, iNewsSurabaya.id - Kisah mengejutkan merembes dari masa lalu Jenderal TNI Leonardus Benyamin Moerdani, yang dikenal sebagai sosok kontroversial dan dianggap sebagai jenderal anti-Islam oleh banyak orang. Siapa sangka, di balik karir militernya yang gemilang, Moerdani pernah mengenal kehidupan di pondok pesantren.
Benny, panggilan akrab LB Moerdani, lahir pada 2 Oktober 1932 di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Sejak kecil, dia memiliki latar belakang keluarga yang beragam agama, dengan ayahnya, RG Moerdani, seorang muslim, dan ibunya, Jeanne Roech, seorang peranakan Jerman beragama Katolik. Meskipun berbeda agama, keluarga ini mempertahankan keberagaman, dan anak-anaknya dibaptis sejak kecil.
Sebelum menikah dengan Jeanne, Moerdani Sosrodirdjo telah memiliki tiga anak laki-laki dari istri pertamanya yang meninggal dunia. Dengan Jeanne, lahir Benny Moerdani dan saudara-saudaranya. Di keluarga besar itu, Benny merupakan anak ke-6 dari 13 bersaudara. Jika ditarik dari garis ibu kandung (Jeanne Roech), Benny anak ke-3 dari 10 bersaudara.
Kehidupan era kolonial Belanda serba sulit. Benny kecil kerap berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti tugas bapaknya. Pada masa itu, selain Cepu, Moerdani Sosrodirdjo pernah ditugaskan ke Semarang, Solo, hingga Bojonegoro. Mengingat situasi ekonomi zaman perang sangat susah, ditambah keluarga yang makin banyak, beban keluarga pun kian berat.
Pada 1930-an akhir hingga awal 1940-an, Benny dititipkan di Cepu. Di kota kecil penghasil minyak itu dia tinggal di rumah mertua ayahnya dari istri pertama.
"Di sana Benny sempat ikut mondok di Pondok Pesantren Assalam. Pondok yang dikelola Kiai Usman itu berjarak kurang dari 1 km dari rumah mertua ayahnya," tutur Arief Usman, salah satu pengurus pondok yang juga cucu Kiai Usman dikutip dari Okezone.
Cerita Arief ini tertuang dalam karya akademik Aulia Farah dari UNJ bertajuk “L.B Moerdani: Karier Militer dari Tentara Pelajar sampai Panglima ABRI (1945-1988)”, dikutip Minggu (31/12/2023).
Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid punya kisah tersendiri mengenai masa-masa Benny ‘nyantri’ di pondok tersebut. Kendati lahir, dibaptis kemudian menganut Katolik sebagaimana ibunya, berada di Pesantren Assalam bagi Benny ternyata memberikan kegembiraan.
Apa yang dirasakannya itu lantas diceritakan kepada Gus Dur, kelak ketika dia mengajak mantan ketua umum PBNU itu jalan-jalan ke Blora.
“Itulah masa yang paling berbahagia dalam hidupnya karena ia tinggal di sebuah pondok pesantren,” ucap Gus Dur dalam tulisannya ‘Orang Besar’, yang diunggah laman Gusdurian. Gus Dur mula-mula mengenal Benny pada 1975 pada suatu acara.
Pertemuan pertama itu, bagi Gus Dur, tak seperti dipersepsikan banyak orang. Benny yang oleh mayoritas publik dianggap angker dan misterius karena tak banyak senyum, justru sebaliknya.
Menurut cucu pendiri NU Hadratusyekh Hasyim Asyari ini, jenderal ‘bertampang besi’ tersebut dengan ramah berbincang mengenai banyak hal, termasuk tentang pondok pesantren.
“Penulis agak terkejut, karena dia mengenal liku-liku pondok pesantren, dan menganggapnya sebagai institusi yang perlu tetap dipertahankan wujudnya di negeri kita,” tutur Gus Dur.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait