SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Ratusan civitas akademika dan alumni akan hadir pada aksi "Unair Memanggil"
Ratusan civitas akademika dan alumni Universitas Airlangga direncanakan hadir pada aksi Unair Memanggil: Ajakan Terbuka dalam Pernyataan SIkap "Menegakkan Demokrasi, Menjaga Republik" di kampus setempat, Senin.
"Sudah lebih dari 100 orang yang menandatangani petisi. Kolega sejawat di luar Unair juga akan ikut aksi tersebut," kata salah seorang civitas Unair, Airlangga Pribadi Kusman dihubungi di Surabaya, Minggu (04/2/2024).
Airlangga menjelaskan aksi tersebut merupakan respons terhadap dinamika politik yang terjadi saat ini.
"Pernyataan sikap ini berangkat dari keprihatinan kami sebagai insan akademik terhadap perkembangan yang berlangsung akhir-akhir ini karena kami melihat penyelenggara negara ini semakin lama semakin menjauh dari prinsip etika republik," katanya.
Dia menjelaskan sejak awal berdirinya Indonesia sudah berpijak kepada seperti yang diutarakan para pendiri bahwa kita adalah republik bukan monarki bukan kerajaan.
Sebagai konsekuensinya dari hal tersebut maka yang ada di setiap warga negara posisinya setara, republik ini bukan milik satu kaum, bukan milik mereka yang berkuasa, bukan milik kaum ningrat, dan kaum kaya.
"Landasan itu menjadikan Indonesia sebagai negara hukum berpijak pada rule of law bukan rule by the law dan hukum di atas kekuasaan. Ketika saat ini kita menyaksikan mulai dari persoalan Mahkamah Konsitusi yang kemudian terjadi pelanggaran etika berat sampai kemudian indikasi adanya intervensi kekuasaan baik melalui aparat dalam prosesi pilpres," ujarnya.
"kemudian program pembangunan dimanfaatkan untuk kepentingan politik elektoral, ini menunjukkan bahwa pemimpin kita tidak memberikan teladan etis bagi rakyat," katanya
Situasi tersebut menurut kalangan akademisi adalah sesuatu yang harus dievaluasi agar kemudian tidak balik lagi ke belakang atau mengalami penghancuran terhadap demokrasi, sehingga kemudian adalah republik rasa kerajaan.
"Padahal Pak Jokowi dipilih dengan harapan menjaga demokrasi, tapi akhir jabatan seperti justru yang dibela adalah kepentingan keluarga bukan kepentingan publik, dan menurut kami hal ini tidak bisa diterus teruskan," ucapnya.
Mengenai adanya anggapan bahwa pernyataan yang dilakukan para akademisi itu adalah partisan, Airlangga melihat bahwa penilaian itu tidak pada tempatnya dan memang biasa terjadi ketika ada suara yang mencoba mengoreksi dalam momen-momen politik tertentu ini dianggap meresahkan oleh kekuasaan.
"Kita tahu bahwa ini pengulangan bingkai dari era yang terjadi pada Orde Baru," katanya.
"Ketika sesuatu gerakan tampil yang mendorong demokrasi kemudian balasannya adalah pemberian stempel partisan politik. Itu semakin menegaskan bahwa penguasa saat ini, siapapun yang membela, mencoba membingkai gerakan dimensi etik dengan frame sempit tentang politik tertentu menunjukkan bahwa mereka tidak sadar perbuatan yang mereka lakukan ini merusak sendi demokrasi negara kita, kewajiban kita untuk mrmberi koreksi," kata Airlangga.
Dosen FISIP Unair itu menilai hal tersebut adalah salah kaprah atau mencoba mengerdilkan dimensi etis dari tuntutan masyarakat sipil tersebut.
Perihal aksi tandingan, dia berucap bahwa hal tersebut respons biasa pada politik atau ketika kekuatan kelompok merasa tertekan dengan gagasan untuk memperbaiki keadaan yang diinisiasi oleh masyarakat sipil yang memunculkan kepanikan, akhirnya mencoba mencari siapa yang bisa dijadikan instrumen untuk menghalangi pengaruh efek besar dari gerakan berdimensi politik etik ini.
Airlangga juga menyebut aksi yang dilakukan para akademisi besok adalah pertama untuk menggunakan haknya terutama hak sipil dan politik sebagai warga negara khususnya warga kampus yang harus dihormati dan menjadi obor penerang masyarakat.
Kedua adalah hak menggunakan mimbar akademik dari keluarga besar Unair yang harus dihormati dan diproteksi oleh semua institusi
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait