SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Sepanjang Oktober 2023 hingga Februari 2024, pegiat lingkungan yang tergabung dalam jaringan gerakan Break Free From Plastic (BFFP) melakukan audit merk berfokus pada sampah kemasan saset.
Terdapat 25 organisasi di 50 titik yang tersebar di 4 Negara yaitu Indonesia, Filipina, Vietnam, dan India.
Sejak tahun 2018, jaringan gerakan Break Free From Plastic konsisten melakukan audit merk sampah kemasan yang telah mencemari lingkungan untuk mendorong tanggung jawab dan komitmen produsen atas sampahnya.
Kemasan saset menawarkan kenyamanan dan harga murah, secara global, saset terjual per tahun kurang lebih sebanyak 855 Milyar.
Namun, sampah saset menjadi beban lingkungan karena karakter kemasannya yang fleksibel terdiri dari berbagai jenis plastik dan lapisan foil membuatnya sulit untuk dikelola dan didaur ulang oleh sistem pengelolaan sampah. Seringnya, saset berakhir di TPA dan mencemari badan-badan air seperti sungai, hingga pantai.
Di Indonesia, jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Ecoton, Walhi, Trash Hero Indonesia, dan YPBB melakukan brand audit di 34 titik lokasi audit dengan saset yang terkumpul sebanyak 9.698.
Hasilnya, terdapat 5 produsen pencemar saset terbanyak, yaitu, Wings (1251), Salim Group (672), Mayora Indah (629), Unilever (603), PT Santos Jaya Abadi (454).
“Tingkat keresahan kita terhadap sampah plastik khususnya kemasan saset semakin mendalam dengan temuan audit merek saset," kata Alaika Rahmatullah, Koordinator Audit Merek Ecoton.
Ia bilang, ketika nama-nama produsen yang sama terus muncul kembali memperlihatkan sebuah paradoks yang menggelisahkan.
"Tidak hanya melihat jumlahnya, tetapi tentang bagaimana tanggung jawab produsen terhadap dampak lingkungan dari kegiatan bisnis mereka," ujarnya.
Menurut Rima Putri Agustina, Koordinator Trash Hero Indonesia, hal itu penting untuk dijadikan sebagai evaluasi terkait temuan audit merek ini.
Hal itu untuk mempertimbangkan langkah-langkah produsen yang lebih bertanggung jawab kedepannya, terlebih tidak lagi menggunakan kemasan saset.
“Jaringan relawan kami di Indonesia Timur, di daerah NTT dan Ambon, juga menemukan saset dalam kegiatan yang mereka lakukan,” kata Rima.
Daerah Timur Indonesia, adalah geografi yang rentan terhadap pencemaran plastik karena terdiri dari banyak pulau kecil dengan layanan pengumpulan sampah yang terbatas di beberapa daerah, terutama di daerah ibukota Kabupaten saja.
"Kasus Indonesia Timur, adalah gambaran jelas bahwa persoalan yang ditimbulkan oleh saset, tidak bisa diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan Konsumen. Jelas ini menjadi tanggung jawab produsen," tegasnya.
Tanggung jawab produsen atas sampah dan secara khusus tentang saset tercantum dalam peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 75 tahun 2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen.
Mewajibkan produsen salah satunya manufaktur untuk membuat peta jalan pengurangan sampah dari kemasannya sebesar 30%.
Permen LHK nomor 75 tahun 2019 hingga saat ini baru sebanyak 18 produsen yang melakukan pilot project dari 42 produsen yang telah mempunyai dokumen peta jalan.
Walaupun dalam Permen LHK nomor 75 tahun 2019 ini akan menghapus kemasan saset dibawah 50 ml, tapi dengan kondisi saat ini tanpa adanya komitmen pengurangan produksi dan transparansi progress peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, sampah saset akan terus mencemari dan membebani lingkungan.
Ibar Akbar, Plastics Project Leader Greenpeace Indonesia menyebut, dari 10 produsen pencemar terbanyak di Indonesia, hanya Unilever dan Danone melalui PT Tirta Investama yang mengirimkan dokumen peta jalan pengurangan sampahnya.
Hingga saat ini tidak ada transparansi dan komitmen untuk mengurangi produksi plastik dan progress untuk mencapai pengurangan sebesar 30 % di tahun 2029.
"Jika cara ini terus dilakukan oleh produsen, maka, krisis saset tidak akan berakhir," ungkapnya.
Selain pengurangan produksi kemasan saset, perlu dibarengi langkah bertahap mendukung sistem guna ulang sebagai solusi mengatasi krisis saset.
Saat ini bisnis-bisnis sistem guna ulang mulai berjalan seperti Kecipir, Alner, dan Hepicircle.
Langkah nyata yang dilakukan bisnis guna ulang ini menjadi solusi nyata yang seharusnya dipilih oleh produsen alih-alih berfokus pada solusi semu.
Saat ini terdapat regulasi yang mendukung sistem guna ulang yang tertuang pada peraturan BPOM nomor 12 tahun 2023 dan standar PR3 untuk menciptakan kerangka kerja bisnis guna ulang yang aman dan dapat diandalkan.
Sementara itu, Fictor Ferdinand, Peneliti di YPBB mengatakan, bisnis refill dan reuse yang dikembangkan masyarakat, adalah contoh bagaimana sistem yang sama dapat dikembangkan produsen.
Tetapi bisnis refill masyarakat ini tidak bisa menyelesaikan persoalan sampah sachet dari produsen besar, karena kondisi regulasi dan mekanisme perizinan di Indonesia tidak mendukung pengemasan ulang.
"Oleh karena itu, kami memandang, Pemerintah perlu lebih tegas meregulasi para produsen, sekaligus pada saat yang sama, menciptakan kondisi yang kondusif agar bisnis refill masyarakat ini bisa berkembang," katanya
"Di sisi lain, para produsen perlu menjadi pionir untuk solusi yang sesungguhnya, yaitu refill dan reuse, tidak lagi menghasilkan sampah yang masih harus diolah oleh konsumennya," lanjutnya.
Laporan brand audit saset ini melibatkan 25 organisasi di 4 negara di Asia, melihat persebaran penjualan kemasan saset sebagian besar ada di negara-negara Asia.
Untuk Asia Tenggara sendiri, konsumsi saset hampir mencapai separuh dari pangsa global dengan proyeksi mencapai angka 1,3 triliun saset terjual setiap tahunnya pada tahun 2027.
Perjanjian plastik global yang sedang berlangsung proses negosiasinya antara negara anggota, menjadi satu-satunya peluang seumur hidup untuk mengatasi krisis plastik.
Maka, sangat penting untuk memiliki perjanjian plastik global yang kuat dan ambisius untuk mengurangi produksi plastik dan mendorong beralihnya bisnis plastik sekali pakai ke sistem guna ulang.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait