Ancaman Perang Dagang di Balik Desakan Pengusaha untuk Bea Masuk Anti Dumping, Begini Faktanya

Arif Ardliyanto
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Prof. Rhenald Kasali. Foto iNewsSurabaya/tangkap layar

DEPOK, iNewsSurabaya.id - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Prof. Rhenald Kasali, memperingatkan bahwa desakan sejumlah pengusaha kepada pemerintah untuk menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) hingga 200% dapat memicu perang dagang yang merugikan Indonesia. 

"Langkah tersebut bisa memicu perang dagang yang kompleks. Alih-alih mengatasi PHK, malah akan menimbulkan PHK yang lebih besar karena akan memicu kenaikan harga di dalam negeri," ujarnya pekan ini.

Sejumlah pelaku industri sebelumnya mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait bea masuk anti dumping atas keramik impor asal China. Mereka berpendapat bahwa PMK tersebut mendesak diterbitkan untuk menyelamatkan industri dalam negeri.

Rentetan PHK di sektor manufaktur telah membuat kelompok pengusaha menekan Menteri Perdagangan agar menerapkan BMAD sampai 200%. Prof. Rhenald Kasali menekankan, "Donald Trump saja sangat berhati-hati. Ketika dia menerapkan hambatan masuk semasa pemerintahannya, malah terjadi inflasi. Produk-produk seperti handuk, masker kesehatan, keramik, sanitasi, sampai pakaian anak-anak menghilang dari supermarket. Rakyat AS marah besar."

Kasali menjelaskan bahwa negara-negara yang tidak efisien dalam produksi melayani kepentingan kelompok proteksionis, sehingga harga barang yang sama harus dibayar lebih mahal oleh rakyatnya. "AS menjadi bulan-bulanan dunia karena banyak negara sudah mampu membuat barang dengan harga murah."

Kementerian Perdagangan saat ini sedang mempertimbangkan usulan Komite Anti Dumping untuk mengenakan tarif BMAD sebesar 200% pada 7 kategori industri. Namun, Kasali khawatir kebijakan tersebut justru akan memicu gelombang PHK baru, kenaikan harga barang, dan menghambat pertumbuhan.

Dikabarkan sebanyak 21 pabrik tekstil tutup dan ribuan pekerja terkena PHK, dengan 31 pabrik lainnya menyusul, akibat banjir impor ilegal. "Yang terjadi saat ini, asosiasi kosmetik, alat elektronik, dan keramik ikut meminta perlindungan. Padahal, masing-masing berbeda kasusnya," tegas Prof. Rhenald.

Ia menyoroti bahwa asosiasi industri harus berpikir lebih strategis, mengatasi struktur industri, dukungan bahan baku, serta biaya modal dan energi yang mahal. "Industri tekstil memang terpukul, tetapi elektronik dan keramik harus membangun struktur industri yang kuat dengan insentif pemerintah."

Kasali juga menyoroti bahwa produk keramik lokal (HS Code 6907.23) memiliki potensi besar karena Indonesia kaya akan tanah liat. "Keramik red body Indonesia bisa semakin bersaing jika diberi insentif. Sedangkan China fokus pada keramik Porselen (HS code 6907.21) karena kaolin yang berlimpah."

Solusi Jangka Panjang atau Jalan Pintas?

Prof. Rhenald mengingatkan agar pelaku usaha tidak mencari jalan pintas dengan BMAD yang tinggi. "Tarif anti dumping ratusan persen bukan solusi terbaik. Situasi ini bisa memicu pembalasan pada kategori industri lain yang menjadi komoditas ekspor Indonesia."

Dengan meningkatnya tekanan dan kompleksitas perdagangan global, kebijakan proteksionis seperti BMAD harus dipertimbangkan dengan matang untuk menghindari dampak negatif yang lebih luas.

Editor : Arif Ardliyanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network