SURABAYA, iNews.id - Sejak dahulu Ukraina memang tidak pernah sepi dari konflik karena bagaimanapun wilayahnya adalah masih bagian dari Kekaisaran Rusia.
Bahkan setelah Kekaisaran Rusia runtuh Ukraina tidak pernah berhasil menentukan nasibnya sendiri seperti wilayah lainnya. Lambat laun Ukraina kembali dalam bagian Uni Soviet.
Di satu sisi gerakan nasionalis terus berjuang jadi tidak mengherankan dalam Perang Dunia Ke-2 Ukraina diperebutkan oleh kedua belah pihak. Bahkan ada diantaranya yang memihak kepada Jerman.
Pada perang ini secara keseluruhan Ukrina terpecah dalam 3 bagian, ada yang berjuang bagi Jerman dan ada yang berjuang bagi Uni Soviet serta sisanya berjuang demi kemerdekaan mereka sendiri.
Setelah perang berakhir, beberapa amandemen dari konstitusi Uni Soviet-Ukraina pada akhirnya diresmikan. Konstitusi ini memperbolehkan Ukraina sebagai negara berdaulat dalam batasan tertentu sambil menjadi bagian dari Negara Uni Soviet.
Akibat disahkan amandemen ini Uni Soviet-Ukraina diperbolehkan menjadi salah satu dari pendiri dan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada saat Kepala Negara Uni Soviet, Josef Stalin meninggal pada tahun 1953, wilayah Crimea diserahkan kepada Uni Soviet-Ukraina.
Pada tanggal 1 Desember 1991 warga Ukraina menyetujui referendum kemerdekaan dari Uni Soviet. 90 persen lebih memilih untuk merdeka dengan suara bulat di setiap wilayahnya termasuk 65 persen di wilaha Crimea.
Hasilnya Ukraina merdeka secara de jure dan kemerdekaan ini diakui oleh komunitas internasional. Hal ini diikuti dengan penyerahan senjata nuklir sesuai dengan penandatanganan Memorandum Budapest pada tahun 1994.
Sampai disini kelihatannya masih adem ayem tapi sebenarnya gesekan-gesekan sudah mulai terjadi. Penyebabnya adalaha adanya gejolak geo politik Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet.
Diaman Rusia merasa terancam dan terdesak oleh ekspansi NATO yang semakin mendekat ke wilayahnya. Kondisi tersebut sangat jauh berbeda dengan jaman Uni Soviet.
Salah satu wilayah negara tetangga yang strategis dan sangat penting bagi Rusia adalah Ukraina. Ukraina memiliki Kota Sevastopol, salah satu pelabuhan terpenting dan pangkalan Angkatan Laut Rusia di Laut Hitam.
Oleh karenanya tidak mengherankan jika kondisi politik Ukraina baik dalam maupun luar negeri akan dipengaruhi oleh Rusia, baik dengan cara halus maupun cara kasar.
Kisah ini dimulai tahun 2004, dimana Leonid Kuchma yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden Ukraina mengumumkan bahwa pihaknya tidak akan mencalonkan diri lagi. Dua kandidat kemudian muncul pada Pilpres 2004.
Uniknya keduanya sama-sama memiliki nama Victor, yaitu Victor Yanukovych yang didukung oleh Kremlin dan mengingkan hubungan lebih dekat dengan Rusia melawan Victor Yushchenko yang berharap Ukraina bisa bergabung dengan Uni Eropa.
Pada waktu itu yang menang awalnya adalah Yanukovych, masalahnya Yushchenko menuduh Yanukovych melakukan kecurangan di Ukraina timur. Sehingga konflik mulai pecah ketika pihak oposisi melakukan demonstrasi di Kota Kiev dan kota-kota lainnya.
Hal ini bahkan membuat Mahkamah Agung sampai menganulir hasil pemilu dan Yushchenko berhasil mengukuhkan dirinya sebagai pemenang pada pilpres berikutnya.
Tidak mengherankan di masa pemerintahan Yushchenko seringkali hubungan Ukraina dengan Rusia seringkali menegang. Hal serupa hampir terjadi lagi pada pilpres tahun 2010 dimana Victor Yushchenko dan Yulia Tymoshenko yang menjadi sekutu di Revolusi Oranye tahun 2004 hingga 2005 berubah menjadi musuh.
Tymoshenko yang sering disebut sebagai politisi yang tercantik di dunia mencalonkan diri menjadi presiden untuk melawan Yanukovych namun hasil akhir pilpres menunjukkan dia hanya memperoleh suara 45 persen dan Yanukovych memperoleh suaran 48 persen.
Setelah Yanukovych terpilih sebagai Ukraina yang baru, bisa ditebak hubungan Rusia dengan Ukraina menjadi semakin dekat terlebih jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Namun semunya berubah di akhir tahun 2013 saat pemerintah Ukraina menolah hubungan dengan Uni Eropa. Padahal saat itu Ukraina sedang dilanda krisis ekonomi namun pemerintahnya mengambil keputusan untuk memperkuat hubungan dengan Rusia.
Langkah pemerintah ini menimbulkan protes besar-besaran di Kota Kiev yang kemudian direspon dengan tindakan kekerasan oleh pasukan keamanan yang malah membuat gelombang protes jauh lebih besar yang mengakibatkan berdarah dan menimbulkan korban jiwa di Ukraina.
Gelombang protes ini menjadi dasar konflik Ukraina dengan Rusia yang berlangsung dari tahun 2014 hingga saat ini.
Pada bulan Februari 2014, Parlemen Ukraina melengserkan pemimpin yang menjabat yaitu Presiden Victor Yanukovych dan di bulan yang sama dia meninggalkan Ukraina dalam keadaan yang kacau. Sampai-sampai dia harus dikawal oleh pengawal pribadinya dan Pasukan Spetznaz yang merupakan pasukan khusus Rusia.
Peristiwa pelengeseran ini menyebabkan konflik di pemerintahan Ukraina, rakyatnya terbagi menjadi 2 golongan yaitu pendukung Uni Eropa dan pendukung Rusia.
Pendukung Uni Eropa umumnya terdiri dari masyarakat Ukraina yang tinggal di daratan, yang secara geografis lebih dekat dengan negara-negara Eropa lainnya.
Sedangkan pihak yang mendukung Rusia merupakan masyarakat yang berasal dari Crimea. Hal ini dilatarbelakangi letak Crimea yang berbatasan langsung dengan Rusia dan mayoritas penduduknya berbahasa Rusia.
Adanya konflik internal tersebut, Rusia yang melihat adanya kesempatan mengirimkan pasukan bayangannya untuk mencakup wilayah Crimea.
Namun ada sumber-sumber yang menyatakan bahwa masyarakat Crimea sendirilah yang meminta pemerintah Kremlin untuk ikut bergabung untuk menyelesaikan konflik internal Ukraina.
Kepentingan Rusia di wilayah Crimea yang letak geografisnya sangat strategis membuat Rusia memanfaatkan krisis ini karena Rusia ingin memperkuat pengaruh militernya di Eropa Timur dan Timur Tengah seperti pada masa Uni Soviet dulu.
Ikut campurnya Rusia dipermasalahan Ukrina tentu mendapatkan kecaman dari berbagai pihak khususnya Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Krisis Ukraina akhirnya meningkat menjadi krisis internasional yang membuat hubungan hubungan Uni Eropa dan Amerika Seikat dengan Rusia menjadi semakin panas.
Sejak tanggal 17 Maret 2021 sanksi dilakukan oleh negara-negara barat kepada Rusia, baik dari ekonomi, perdagangan maupun tokoh-tokoh penting Rusia.
Tujuan dilakukan sanksi ini adalah mengancam faktor ekonomi Rusia untuk mundur dari intervensi Ukraina. Namun bukannya mengalah sesuai dengan harapan barat, pemerintah Rusia dan Oligarki nya malah bersatu dan menolak tunduk terhadap pihak barat.
Pada tanggal 18 Maret 2021 Parlemen Rusia malah sepakat untuk menentang agar nama-nama anggota parlemen yang belum dimasukkan kedalam sanksi ini ikut dimasukkan sebagai solidaritas.
Rusia juga membalas dengan saknsinya yang ditentukan sendiri. Kondisi ini diperparah dengan munculnya pergerakan separatis di Donbass yang merebut Kota Luhansk dan Donetsk.
Melihat hal ini pihak militer Ukraina tidak tinggal diam, mereka berusaha merebut kembali wilayah yang dikuasai oleh separatis.
Kondisi semakin buruk bagi para separatis karenanya diam-diam militer Rusia ikut bergabung dengan mengirim tentara bayaran untuk mendukung dan memperkuat barisan separatis hingga menimbulkan pertempuran sengit selama berbulan-bulan.
Pada tahun 2015 tepatnya di bulan Februari melalui upaya penengahan yang dilakukan oleh Prancis, Jerman, Rusia dan Ukraina, dua pihak mencapai kesepakatan gencatan senjata melalui Perjanjian Minsk II untuk membentuk zona aman.
Dimana tank dan arteleri berat dilarang untuk dipergunakan, sedangkan militer Rusia harus pergi dari Ukraina.
Perjanjian Minsk II ini juga mengakui wilayah separatis sebagai Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk serta menguraikan bagaimana mereka bisa kembali bergabung dengan Ukraina.
Namun semua kesepakatan ini tidak ada satupun yang tercapai. Rusia terus menyulut pertempuran dengan mendukung pasukan separatis dan menyiapkan pasukan militernya sendiri. Sedangkan Ukraian terus mencurahkan sumber daya alamnya untuk bertahan dari serangan.
Para separatis memiliki dukungan dana, persenjataan dan jaminan militer Rusia yang begitu besar. Merekalah yang sering melakukan pelanggaran gencatan senjata.
Di pihak Ukraina sendiri kekuatannya berasal dari pihak militer Ukraina dan para sukarelawan. Sebagain milisi sukarelawan ini beraliran sayap kanan yang dulunya pernah menyerang pemerintah Kiev beberapakali karena tidak puas dengan keputusan pemerintah pusat.
Namun Kiev mau tidak mau terus mendanani dan mempersenjatai kelompok-kelompok ini karena merekalah satu-satunya pertahanan yang melawan pemberontakan di Ukraina bagian timur.
Pada bulan April 2021, Rusia kembali dikabarkan memusatkan pasukannya di perbatasan dengan Ukraina. Ketegangan terus memanas karena terjadi pergerakan militer di sejumlah wilayah seperti di Voronezh, Rostov dan Krasnodar.
Uni Eropa mengestimasi ada kurang lebih 100 ribu pasukan tentara Rusia di perbatasan Crimea yang telah direbut oleh Rusia sejak tahun 2014. Meskipun ada gencatan senjata namun perang masih tetap berlangsung.
Kedua belah pihak menembakkan arteleri berat untuk unjuk kekuatan. Dalam kondisi seperti ini yang paling menderita adalah warga sipil. Semua target sasaran adalah kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk bertahan hidup. Bahkan konflik terus bergulir hingga pagelaran Piala Eropa 2020.
Saat mengikuti Piala Eropa 2020, kesebelasan Ukraina memakai jersey timnas yang membuat Rusia geram. Hal ini disebabkan karena tulisan di bagian kerah belakang jersey tersebut tertulis “Glory To The Heroes”.
Slogan ini adalah seruan anti Rusia sama seperti yang terjadi di Ukraina pada tahun 2014. Di bagian depan jersey Ukraina juga menampilkan garis Peta Negara Ukraina, yang menjadi perhatian dari Pihak Rusia.
Karena dalam peta tersebut Crimea termasuk dalam wilayah Ukraina. Rusia melayangkan surat aduan ke UEFA dan meminta Ukraina untuk menghapus slogan yang berbau politis tersebut agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Olahraga seperti sepak bola memang seharusnya steril dari politik. Sebab politik akan mencoreng sportifitas dari olahraga.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait