Situs Siti Inggil menjadi salah satu dari tujuh mata air yang diambil untuk Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Peninggalan Kerajaan Majapahit ini memiliki sejarah penting kejayaan masa lampau.
Juru kunci Situs Siti Inggil, Sukirno menuturkan keberadaan situs Siti Inggil. Menurutnya, makam yang berada di situs Inggil bukan tempat jenazah Raden Wijaya, melainkan hanya sebagian abu dari jenazahnya yang diperabukan.
“Tempat ini dipercayai dapat mengabulkan doa yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan. Banyak yang datang ke sini, mulai dari kepala daerah, dewan hingga presiden,” ucapnya mengawali pembicaraan kala itu.
Ia bercerita, Situs Siti Inggil merupakan petilasan Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jawawardhana atau Brawijaya I yang menjadi tonggak awal lahirnya Majapahit di tahun 1293 M.
Situs Siti Inggil berada di Dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Petilasan tersebut berbentuk makam dengan panjang sekitar 2 meter lebih. Mengingat di era Majapahit dikenal agama ’budi’ dengan sebagian Hindu tidak mengubur jenazah.
Masyarakat pada masa Majapahit mengenalnya dengan istilah mukso (menghilang) atau diperabukan. Abu inilah yang kemudian disimpan di candi ataupun dihanyutkan ke laut. Situs ini juga dikenal dengan sebutan Lemah Geneng, artinya sama dengan Siti Inggil yaitu tempat yang tinggi atau tanah yang tinggi.
Di dalam kompleks Siti Inggil ini ada lima nisan, yakni nisan Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana, pendiri Kerajaan Majapahit. Kemudian makam Ghayatri (permaisuri Raden Wijaya) dan dua selirnya yang bernama Dhoro Pethak dan Dhoro Jinggo, serta Abdi Kinasih.
Makam Raden Wijaya
Selir pertama disebut Ndoro Petak karena kulitnya putih dan ia berasal dari Tiongkok. Sedangkan selir kedua disebut Ndoro Jinggo sebab kulitnya kuning dan ia perempuan terhormat dari Kamboja. Selain itu ada juga makam dari Abdi Kinasih atau Abdi Dalem dari Hayam Wuruk dan permaisuri.
Petilasan Raden Wijaya ini dipercaya sebagai tempat pertama kali Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit, di sini juga diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Di antara beberapa bangunan yang ada di kompleks Siti Inggil, terhadap bangunan Sanggar Pamujan.
Sesuai namanya, sanggar ini menjadi tempat pemujaan yang konon dipakai Raden Wijaya melakukan semedi atau bertapa. Pada bangunan yang tingginya sekitar 3 x 3 meter dari permukaan tanah itulah untuk pertama kalinya Raden Wijaya mendapatkan ‘Wahyu Keprabon’.
Di tempat ini Raden Wijaya mendapatkan wangsit atau bisikan gaib untuk mendirikan Kerajaan Majapahit. Pada kompleks Siti Inggil juga terdapat dua makam, selain posisinya di luar kompleks bangunan utama, dua makam ini berada tepat di sebelah kiri sebelum memasuki bangunan petilasan yang selalu terkunci.
Mata Air
Mereka adalah Sapu Jagad dan Sapu Angin yang merupakan pengawal dari Raden Wijaya. Dua nama Sapu Jagad dan Sapu Angin bukan nama asli mereka melainkan gelar dari Kerajaan Majapahit atas ilmu yang dimilikinya.
Dua sosok itu merupakan ajudan Raden Wijaya. Sebelumnya, dua sosok yang tidak diketahui namanya dikenal sebagai prajurit dan pengikut setia menantu Kertanegara Raja Singosari tersebut.
Pada masa-masa sulit Raden Wijaya, dua sosok inilah yang terus mendampingi hingga berhasil menumpas Raja Jayakatwang. Di luar tembok kompleks makam Raden Wijaya ini terdapat 1 buah sumur dan tempat bersemedi bagi peziarah. Ada juga makam Mbah Kasan, salah satu dari sekian banyak guru spiritual Soeharto.
Selain itu terdapat sumur tua yang hingga saat ini masih digunakan. Hampir setiap hari selalu ada saja pengunjung yang datang dari berbagai daerah. Bahkan pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Legi dan malam satu Suro, situs ini dipadati pengunjung dari kawasan Mojokerto, hingga Bali.
Tidak sedikit tokoh dan pejabat berkunjung untuk berziarah dan mengunjungi situs sejarah tersebut mulai dari politisi, pejabat lokal, pejabat negara, pengusaha hingga sekelas Presiden sekalipun. Sejumlah Presiden pun pernah mengunjungi situs ini, mulai dari Soekarno, Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono dan Gus Dur.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait