SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Sebuah insiden perkelahian remaja putri di depan Kantor Pemerintah Kota Surabaya menghebohkan publik. Perkelahian yang dipicu oleh ejekan melalui siaran langsung TikTok ini berakhir setelah dihentikan oleh petugas Satpol PP.
Peristiwa tersebut mempertegas urgensi regulasi digital yang lebih efektif dan peran aktif orang tua dalam mengawasi penggunaan media sosial oleh remaja, mengingat dampak negatifnya yang semakin nyata.
Baca Juga:
Sinyal Bahaya, Fenomena Remaja Putri Berkelahi di Surabaya Marak, Dipicu Live TikTok
Ni Putu Adelia Kesumaningsari, M.Sc., Dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (UBAYA), menuturkan bahwa perilaku impulsif dan reaktif remaja dalam menghadapi konflik di media sosial berakar pada perkembangan sosio-emosional mereka yang belum matang.
"Perkembangan sosio-emosional remaja masih belum stabil," jelas Adelia, Jumat (31/1/2025). Mereka masih dalam proses pematangan kontrol emosi dan cenderung impulsif karena prefrontal cortex yang belum berkembang sempurna.
"Namun, kebutuhan untuk diterima secara sosial sangat kuat. Akibatnya, mereka menjadi sangat reaktif terhadap konflik sosial, terutama di media sosial yang mempercepat eskalasi emosi tanpa cukup waktu untuk refleksi diri," terangnya.
Adelia menambahkan bahwa masa pencarian identitas juga membuat remaja lebih rentan terhadap pengaruh negatif di media sosial.
"Remaja sedang mencari jati diri, sehingga mereka sangat sensitif terhadap interaksi dan persepsi orang lain di media sosial," tambahnya.
Kondisi ini membuat mereka mudah terpancing emosi dan terlibat dalam konflik, bahkan kekerasan fisik seperti yang terjadi di depan Pemkot Surabaya.
Terkait wacana pembatasan usia akses media sosial, Adelia menyatakan dukungannya, namun mengakui kompleksitas implementasinya.
"Pembatasan usia pengguna media sosial memang langkah yang baik," ujarnya.
"Namun, sulit untuk membendung akses remaja terhadap media sosial di era digital saat ini. Remaja umumnya sudah cukup otonom, sehingga pembatasan usia mungkin tidak sepenuhnya efektif jika tidak diimbangi dengan strategi lain," sambungnya.
Meskipun demikian, Adelia menegaskan pentingnya pembatasan usia sebagai upaya pencegahan. "Pembatasan usia dapat
membantu mengurangi paparan konten yang tidak sesuai dengan perkembangan kognitif dan emosional remaja," jelasnya.
Hanya saja, lanjut Adelia, keberhasilannya sangat bergantung pada edukasi dan pengawasan. Regulasi yang ketat harus diimbangi dengan peran aktif orang tua dalam mengajarkan literasi digital dan mendampingi anak-anak mereka dalam menggunakan media sosial secara bijak.
Ia menambahkan pentingnya edukasi digital sejak dini. "Dari perspektif neuropsikologi, paparan dini terhadap media sosial dapat berdampak negatif pada perkembangan atensi, regulasi emosi, dan meningkatkan risiko kecanduan digital," kata Adelia.
Pembatasan usia, jika diimplementasikan dengan baik dan diiringi edukasi serta pengawasan, dapat mengurangi dampak negatif tersebut.">
Adelia juga menyoroti pentingnya konten positif di media sosial. Ia bilang, konten yang aman adalah konten yang positif dan tidak destruktif. Konten yang berisi motivasi, pengembangan diri, inspirasi, dan pengalaman belajar lebih baik.
"Begitu juga konten yang menampilkan interaksi sosial yang sehat, nilai-nilai positif, dan komunikasi yang menghargai perbedaan," tegasnya.
Menurutnya, konten dengan stimulasi visual yang tidak berlebihan dan pesan positif akan mendukung keseimbangan emosi dan perkembangan kognitif remaja.
Perkelahian di depan Pemkot Surabaya menjadi peringatan akan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, orang tua, dan platform media sosial dalam menciptakan lingkungan digital yang aman dan sehat bagi remaja.
Edukasi digital yang komprehensif dan pengawasan yang ketat sangat diperlukan untuk mencegah terulangnya insiden serupa.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait