Siasat Jahat Eropa Kuasai Hasil Alam Tidore dan Ternate, Ini Fakta Sejarahnya

Arif Ardliyanto
Tidore dan Ternate, kedua daerah yang berdekatan ini memiliki hasil alam berupa cengkeh melipah hingga Spanyol dan Portugis datang untuk menguasainya

Indonesia terkenal memiliki sumber alam yang melimpah, setiap pulau memiliki ciri khas hasil alam tersendiri. Fakta itu juga terlihat di Tidore dan Ternate, kedua daerah yang berdekatan ini memiliki hasil alam berupa cengkeh.

Kelebihan sumber alam ini membuat Eropa iri, berbagai cara dilakukan untuk menguasai daerah ini. Karena harga cengkeh sangat tinggi, bahkan warga Tidore tidak memiliki pangan pokok. Mereka hanya merawat cengkeh kemudian dijual dengan mendapatkan keuntungan lebih besar. Sedangkan bahan pokok, diperoleh dari daerah lain.

Dikutip dari jalurrempah.kemendikbud.go.id, dari lima pulau kecil yang terletak di sebelah barat Pulau Halmahera, Tidore merupakan salah satu tanah penghasil utama cengkeh, di antara Ternate, Moti, Makian, dan Bacan. Dibandingkan kembarannya, yakni Ternate, Tidore memiliki wilayah yang lebih luas, yaitu 1.550 km². Pulau Tidore didominasi oleh Kie Matubu, gunung berapi tua dengan ketinggian 1730 meter di atas permukaan laut.

Seperti masyarakat di Kepulauan Banda, untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat Tidore sangat bergantung sepenuhnya pada bahan makanan yang diimpor dari kepulauan lain. Hal ini dikarenakan tenaga mereka telah terkonsentrasi dengan tanaman cengkeh. Mereka berasumsi bahwa bahan makanan lain bisa diperoleh apabila cengkeh berhasil dijual.

Meskipun sejarah mencatat bahwa Tidore merupakan penghasil cengkeh dan memegang peranan penting dalam perdagangan rempah dunia, namun budi daya tanaman tersebut baru dimulai perempat pertama abad ke-16.

Pada masa itu, meski sama sekali tidak memiliki pelabuhan yang digunakan sebagai tempat kapal-kapal berlabuh, namun Tidore berhasil menghasilkan sekitar 1400 bahan cengkeh setiap tahunnya. Penguasa Tidore kala itu, memindahkan ibu kotanya ke pesisir, tidak lama sebelum kedatangan penjelajah Portugis, dengan alasan jalur pesisir berkaitan dengan melesatnya pemasukan perdagangan.


Tidore dan Ternate, kedua daerah yang berdekatan ini memiliki hasil alam berupa cengkeh melipah hingga Spanyol dan Portugis datang untuk menguasainya

Pada masa Sultan Al Mansur berkuasa, ibu kota Tidore berada di Mareku dan menjadi pusat kekuasaan. Masyarakat Tidore memandang kota ini memiliki harkat tersendiri sebagai sumber kegiatan sultan. Mareku juga dipandang sebagai pusat kesaktian para sultan.

Produksi rempah-rempah dan kemajuan perdagangan, berikut berakar dengan kuatnya agama Islam, menjadikan Tidore dikenal sebagai pusat cengkeh di Maluku yang utama.

Saking suburnya cengkeh yang tumbuh di Tidore, masyarakat dari Kepulauan Banda pun sering kali berlayar dan berlabuh di kota Mareku untuk mendapatkan cengkeh yang ditukarkan dengan kain Gujarat.

Para pedagang Tidore juga membantu saudagar Banda dalam mendapatkan simpanan cengkeh. Tercatat, barang dagangan cengkeh menjadi simpanan orang Banda dalam pertukaran dengan saudagar Teluk Persia dan pesisir Arabia pada abad ke-14.


Tidore dan Ternate, kedua daerah yang berdekatan ini memiliki hasil alam berupa cengkeh melipah hingga Spanyol dan Portugis datang untuk menguasainya

Namun, masa kejayaan Tidore sontak hilang ketika Sultan Al Mansur mulai bersekutu dengan orang-orang Spanyol dalam mendirikan pasar untuk kepentingan transaksi perniagaan. Tidore yang sebelumnya bernama Tadore pada tahun 1521, menjalin aliansi perdagangan eksklusif dengan Spanyol. Padahal, aliansi tersebut akan membuat sumber daya alam dibawa ke eropa. Di tahun sebelumnya pula, Tidore telah menjadi musuh berbuyutan Ternate yang telah bersekutu dengan Portugis dan telah mereka izinkan mendirikan benteng di Ternate.

Hingga saat ini, jejak Jalur Rempah di Tidore yang terjadi di masa lampau, juga masih bisa kita rasakan. Hal ini bisa kita lihat dari peninggalan-peninggalan sejarah, seperti Benteng Tahoela, Masjid Sultan Tidore, Benteng Tsjobbe, hingga Dermaga Sultan Tidore, yang ditetapkan sebagai cagar budaya.

Sumber:

Razif & M. Fauzi. 2017. Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Adat Abad X-XVI: Kepulauan Banda, Jambi dan Pantai Utara Jawa. Direktorat Sejarah.

Editor : Arif Ardliyanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network