
SURABAYA – Potensi sound horeg untuk mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) memicu pro dan kontra. Fenomena musik yang memadukan musik tradisional dan ritme elektronik ini populer di kalangan anak muda, namun juga menimbulkan keresahan.
Radius Setiyawan, Dosen Kajian Media dan Budaya Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), menilai pemberian HAKI pada sound horeg sebagai pedang bermata dua. Salah satu kekhawatiran utama adalah volume suara yang sangat keras, mengganggu kenyamanan dan ketertiban umum, terutama di area padat penduduk.
"Sound horeg bukan sepenuhnya negatif. Ia punya nilai artistik dan potensi kreatif. Namun, tanpa edukasi, regulasi, dan sensitivitas sosial, ia bisa menjadi gangguan sosial," ujar Radius, Jumat (25/4/25).
Dari perspektif sosiologi suara, Radius menjelaskan bahwa volume keras sound horeg bisa mencerminkan kelas sosial dan nilai budaya tertentu.
Sering diputar di acara terbuka dan kalangan muda, musik keras ini menjadi identitas sosial bagi sebagian orang, sementara bagi yang lain, terutama kalangan tua, dianggap sebagai gangguan.
Di perkotaan, sound horeg menciptakan perbedaan pengalaman ruang; ada yang menikmati, ada pula yang terganggu.
Sebagai pengkaji budaya populer, Radius melihat sound horeg sebagai identitas budaya anak muda, memadukan musik tradisional dengan teknologi modern.
Ini menunjukkan bagaimana suara merefleksikan perubahan sosial dan perkembangan budaya dalam modernisasi dan globalisasi.
"Anak muda mungkin ingin menunjukkan identitas progresif atau bahkan menentang norma tradisional," tambahnya.
Radius menekankan pentingnya peninjauan cermat sebelum pemberian HAKI, disertai regulasi yang jelas tentang siapa yang berhak dan bagaimana penerapannya.
Perlindungan HAKI yang tidak terkelola baik bisa berujung pada monopoli dan menghambat perkembangan karya-karya baru yang terinspirasi sound horeg.
Ia menyarankan agar pengakuan HAKI mengedepankan keberagaman budaya, menghargai inovasi tanpa membatasi akses publik terhadap kekayaan budaya.
"Regulasi yang adil dan transparan dibutuhkan agar langkah ini tidak merugikan keberagaman budaya dan kreativitas lokal," pungkas Radius.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait