Iqbal Lubis dan Foto Pemenang APFI 2025 Menguak Krisis Lingkungan di Bantaeng

Ali Masduki
Iqbal Lubis bersama Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, berpose dengan foto berjudul "Kiamat Telah Tiba" dalam ajang Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2025. Foto: iNewsSurabaya/Ali Masduki

SURABAYA - Hilirisasi nikel di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, membawa dampak serius bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat setempat. Meski tidak memiliki sumber daya nikel secara langsung, keberadaan industri pengolahan nikel telah mengubah wajah kampung-kampung tradisional menjadi zona terdampak polusi berat yang mengancam kehidupan warga.

Sejak tahun 2019, Kabupaten Bantaeng menjadi lokasi industri besar pengolahan nikel dengan tujuh perusahaan pengelola dan tiga smelter aktif. Padahal, wilayah ini tidak memiliki tanah kaya unsur nikel secara langsung. 

Proyek kawasan industri nikel di Bantaeng bahkan telah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional sejak 2020. Namun, keberadaan industri ini membawa konsekuensi serius yang belum banyak terungkap ke publik.

Kampung-kampung seperti Borong Loe, Mawang, dan Balla Tinngia yang dulunya dikenal subur dengan pendapatan dari batu bata merah, rumput laut, dan pertanian tradisional kini berubah drastis. Polusi debu merah dari timbunan bijih nikel menutupi lingkungan mereka, bahkan masuk ke dalam rumah warga. 

Iqbal Lubis, pewarta foto lepas berbasis di Makassar, peraih penghargaan tertinggi Photo of The Year dalam ajang Anugerah Pewarta Foto Indonesia atau APFI 2025 mengangkat isu ini, menggambarkan kondisi tersebut. 

“Bahkan saat memasuki rumah warga seperti Pak Deng Sanda, yang letaknya berdampingan langsung dengan pabrik smelter, tanah merah sudah memenuhi ruangan hingga mereka harus membungkus makanan agar tak terkena debu,” ujarnya.

Sebagian warga terpaksa meninggalkan kampung mencari lahan baru karena hasil panen yang terus menurun, sementara yang bertahan harus menghadapi kondisi hidup yang semakin sulit.

Debu merah yang berasal dari limbah pengolahan nikel menyelimuti rumah dan lingkungan warga tanpa adanya standarisasi atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memadai. 

Akibatnya, lahan pertanian rusak parah karena pencemaran logam berat limbah tambang, menyebabkan gagal panen selama bertahun-tahun. 

“Sekitar empat sampai lima hektar sawah rusak parah sejak pabrik mulai beroperasi pada tahun 2019,” tambah Iqbal.

Editor : Ali Masduki

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network