Sejak dimulai pada April 2025, program ini telah menjaring 2.475 perempuan—atau sekitar 45 persen dari total target. Dari jumlah tersebut, 95,5 persen sampel telah dianalisis di laboratorium, dengan tingkat hasil positif (positivity rate) sebesar 4,6 persen. Perempuan yang dinyatakan positif langsung ditangani melalui metode Termal Ablasi.
Head of Government and Market Access PT Roche Indonesia Diagnostics Division, Mita Rosalina, menegaskan pentingnya peran swasta dalam membantu pemerintah memperluas jangkauan skrining.
“Kami bukan hanya menyediakan alat, tapi juga mendorong kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan model layanan kesehatan yang menjawab kebutuhan masyarakat, terutama perempuan,” ujar Mita.
Ia juga menyatakan bahwa metode self-sampling diharapkan bisa menjadi standar nasional karena terbukti membuat peserta merasa lebih nyaman dan tidak malu. “Privasi itu penting. Dengan metode ini, skrining bisa lebih inklusif,” tambahnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, drg. Nanik Sukristina, menyambut baik program ini, apalagi jumlah sasarannya cukup besar. Menurutnya, semakin banyak perempuan yang sadar pentingnya skrining, maka angka kejadian kanker serviks bisa ditekan.
Namun, ia tak menampik masih adanya tantangan di lapangan, seperti keterbatasan SDM, infrastruktur, hingga minimnya pengetahuan masyarakat. Bahkan, tak sedikit perempuan yang takut menjalani skrining karena stigma negatif.
“Masih banyak yang berpikir kalau hasilnya positif, berarti pasti kanker. Padahal belum tentu,” ungkap Nanik. Ia juga menyoroti pentingnya edukasi kepada suami. “Ada juga kasus suami tidak mengizinkan istrinya ikut skrining. Maka edukasi harus menyasar seluruh anggota keluarga,” pungkasnya.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
