SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Dua keputusan besar dari Istana baru saja mengguncang peta hukum dan politik Indonesia. Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong. Langkah ini memicu perdebatan luas: apakah ini bentuk rekonsiliasi nasional atau sinyal melemahnya supremasi hukum?
Secara prosedural, keputusan Presiden telah memenuhi konstitusi. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 memberi wewenang kepada Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi setelah mendapat pertimbangan DPR. Surat Presiden (Surpres) pun telah dikirim ke DPR dan dibahas dalam rapat konsultasi sebelum persetujuan diberikan.
Namun, dari sudut pandang akademisi hukum tata negara, persoalannya tidak berhenti pada legalitas formal. Yang lebih penting adalah legitimasi moral dan politik hukum dari pengampunan tersebut.
Amnesti dan Abolisi: Makna, Asal-Usul, dan Peran dalam Negara Hukum
Dalam tradisi hukum, amnesti (dari kata Yunani amnēstia) berarti penghapusan ingatan atas kesalahan pidana demi kepentingan rekonsiliasi. Sementara abolisi (berasal dari Latin abolitio) menghapus proses hukum sejak awal, seolah pelanggaran tersebut tidak pernah terjadi.
Keduanya adalah simbol kuasa tertinggi negara dalam memaafkan. Namun pertanyaan krusial muncul: Apakah pengampunan ini dilakukan demi kepentingan rakyat, atau hanya untuk melindungi elite politik?
Fenomena ini membuka kembali diskursus klasik tentang hubungan antara hukum dan kekuasaan. Hukum seolah kehilangan netralitasnya ketika digunakan untuk menyelamatkan tokoh-tokoh politik dari jeratan pidana.
Dari perspektif kritis, pengampunan terhadap kasus yang mengandung unsur korupsi—meski diklaim berlatar belakang politik—berisiko membenarkan praktik impunitas. Di mata publik, ini menciptakan narasi bahwa hukum dapat dinegosiasikan, dan keadilan bisa ditangguhkan atas nama stabilitas atau persatuan nasional.
Pengampunan tanpa komunikasi moral yang jelas berpotensi mempercepat kemunduran etika dalam negara hukum. Seperti diingatkan Montesquieu, kebebasan tidak hilang karena tirani besar, melainkan oleh pelapukan perlahan prinsip-prinsip keadilan yang dibiarkan begitu saja.
Jika negara tidak mampu menjelaskan apa urgensi amnesti dan abolisi, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat luas, maka keputusan itu hanya akan dipersepsikan sebagai konsolidasi politik belaka.
Presiden Prabowo menyebut tujuannya adalah menjaga stabilitas dan mendorong persatuan nasional menjelang perayaan Hari Kemerdekaan. DPR pun menyebut langkah ini sebagai bentuk “strategi kebangsaan”. Namun publik bertanya: di mana peta jalan rekonsiliasi itu?
Tidak ada penjelasan yang memadai soal bagaimana pengampunan ini menyembuhkan luka sosial atau menciptakan keadilan transisional. Yang terlihat hanyalah dua nama besar yang bebas dari hukuman, disusul lebih dari seribu terpidana lain yang ikut memperoleh pengampunan.
Amnesti dan abolisi sejatinya lahir dari kebutuhan untuk meredakan konflik politik serius, seperti pemberontakan PRRI/Permesta, Gerakan Aceh Merdeka, atau separatisme Papua. Semua kasus tersebut terkait langsung dengan keamanan nasional.
Namun kasus Hasto dan Tom Lembong—meskipun beraroma politik—berakar pada dugaan tindak pidana korupsi. Dalam logika hukum pidana, ini bukan konflik politik ideologis, melainkan pelanggaran hukum administratif dan ekonomi.
Karenanya, jika pengampunan diberikan untuk kasus korupsi, jalan yang seharusnya ditempuh adalah grasi atau rehabilitasi—yang melibatkan pertimbangan Mahkamah Agung, bukan amnesti atau abolisi yang sarat nuansa politik.
Sejarah mencatat, Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1954 menetapkan bahwa amnesti dan abolisi hanya diberikan untuk tindak pidana akibat konflik politik pra-1950. Konstitusi pun membedakan dengan jelas bahwa pengampunan bersifat politis harus melalui DPR, sedangkan yang bersifat yudisial melalui Mahkamah Agung.
Dalam kasus ini, jika tidak ada kejelasan bahwa pengampunan dilakukan demi kepentingan bangsa dan bukan sekadar pengamanan elite, maka keputusan tersebut akan menjadi preseden buruk bagi masa depan keadilan.
Amnesti dan abolisi adalah alat negara untuk menutup masa lalu demi masa depan yang lebih baik. Tapi jika disalahgunakan, ia bisa menjadi alat ampuh bagi elite untuk melindungi diri dari proses hukum.
Pertanyaan penting bagi publik saat ini adalah: Apakah negara sedang menegakkan hukum, atau sedang menulis ulang hukum demi kepentingan politik sesaat?
Penulis:
Dr. Hufron, S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
