JEDDAH, iNewsSurabaya.id – Air mata dua pemain andalan Timnas Indonesia, Calvin Verdonk dan Thom Haye, menjadi simbol kekecewaan mendalam usai skuad Garuda tersingkir dari Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Namun di balik kesedihan itu, muncul satu sorotan besar: kepemimpinan wasit yang dinilai tidak adil dan memengaruhi jalannya pertandingan.
Laga penentuan melawan Irak di King Abdullah Sports City, Jeddah, Minggu (12/10/2025) dini hari WIB, berakhir dengan skor tipis 0-1 untuk keunggulan Irak. Kekalahan ini menutup peluang Indonesia untuk melangkah ke Piala Dunia 2026 sekaligus mengakhiri perjalanan panjang tim asuhan Patrick Kluivert di putaran keempat zona Asia.
Begitu peluit panjang dibunyikan, Thom Haye tak kuasa menahan tangis. Gelandang Persib Bandung itu tertunduk di tengah lapangan, sesekali mengusap wajahnya sambil ditenangkan oleh Jay Idzes sang kapten. Di sisi lain, Calvin Verdonk juga terlihat berlinang air mata, dirangkul oleh Stefano Lilipaly yang mencoba menenangkan rekan mudanya itu.
Tangis Calvin Verdonk dan Thom Haye melihat Kepemimpinan Wasit yang Dinilai Tidak Adil di Laga Penentu Timnas Indonesia. Foto iNewsSurabaya/tangkap layar
Suasana di stadion berubah hening bukan karena kalah, tapi karena semua sadar: perjuangan yang begitu keras harus berakhir bukan semata karena kualitas permainan, melainkan keputusan-keputusan wasit yang menuai tanya.
Wasit Dianggap Tak Adil, Jay Idzes Bersuara
Kapten Timnas Indonesia, Jay Idzes, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dengan nada tertahan, ia menyinggung soal kepemimpinan wasit yang dianggap tidak berpihak.
“Dalam pandanganku, banyak keputusan wasit yang tidak menguntungkan kita. Saya mencoba tetap tenang dan sopan, tapi sulit menerima saat keputusan-keputusan itu terus merugikan tim,” ujar Jay usai pertandingan.
Komentar Jay mencerminkan apa yang dirasakan seluruh pemain, perjuangan panjang yang berakhir karena faktor non-teknis, bukan karena mereka kalah semangat atau strategi.
Bagi Calvin Verdonk (28 tahun) dan Thom Haye (30 tahun), kekalahan ini terasa jauh lebih pahit. Dengan usia yang tak lagi muda, peluang mereka tampil di panggung Piala Dunia 2030 semakin menipis.
Meski begitu, semangat keduanya belum padam. Mereka bertekad untuk tetap membela Merah Putih di ajang-ajang besar berikutnya seperti Piala AFF 2026 dan Piala Asia 2027.
“Kegagalan ini menyakitkan, tapi tidak menghentikan cinta kami pada Indonesia,” katanya dengan mata sembab.
Meski perjalanan menuju Piala Dunia berakhir, semangat Garuda belum mati. Kekalahan ini menjadi cermin betapa kuatnya mental para pemain yang berjuang di bawah tekanan, bahkan ketika merasa diperlakukan tidak adil.
Tangis Verdonk dan Haye bukan hanya air mata kegagalan, melainkan tanda cinta dan pengorbanan untuk Merah Putih yang diharapkan menjadi energi baru untuk membangun generasi Timnas Indonesia berikutnya.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
