SURABAYA, iNewsSurabaya.id — Program Studi Radiologi merupakan salah satu bidang kesehatan yang sangat bergantung pada penguasaan teknologi. Namun, bagi mahasiswa baru (maba), pemahaman teoretis tentang anatomi, proteksi radiasi, hingga komunikasi kesehatan akan mudah terlupakan tanpa pengalaman langsung di lapangan.
Arnyaka Pramudya Mahardhika, mahasiswa D4 Teknologi Radiologi Pencitraan Universitas Airlangga, menyebut studi lapangan menjadi jembatan penting antara teori di kelas dan realitas dunia kerja.
"Studi lapangan bukan sekadar kunjungan edukatif. Ini memberi pengalaman nyata bagaimana mencari tempat praktik, memahami persyaratan setiap klinik atau rumah sakit, dan melihat langsung cara radiografer bekerja," ujar Arnyaka.
Menurutnya, kegiatan ini juga menjadi bekal penting menjelang Praktik Kerja Lapangan (PKL) di semester mendatang, karena setiap institusi kesehatan memiliki persyaratan berbeda untuk menerima mahasiswa.
Dalam studi lapangan, mahasiswa dikenalkan dengan berbagai peralatan medis seperti X-Ray (mesin sinar-X), fluoroskopi, Computed Tomography (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI), ultrasonografi (USG), hingga unit radioterapi untuk terapi kanker.
Foto: Arnyaka
"Melihat langsung cara kerja alat-alat ini memberikan motivasi belajar yang luar biasa. Kami tidak hanya tahu fungsinya, tapi juga bagaimana alat tersebut beroperasi dan menjadi komponen vital dalam menegakkan diagnosis medis," jelas Arnyaka.
Sebagian besar peralatan tersebut tersedia di rumah sakit, sementara klinik umumnya hanya menyediakan beberapa modalitas seperti CT Scan, USG, dan fluoroskopi.
Mahasiswa juga diajarkan prosedur keamanan atau safety yang diterapkan radiografer dan pasien, seperti penggunaan apron timbal (lead apron). Pelindung ini bukan sekadar jaket biasa, tetapi perisai penting untuk menghindari paparan radiasi berlebih.
Arnyaka menambahkan, sebelum pemeriksaan CT Scan, pasien harus melepas benda logam yang menempel di tubuh, seperti pen (untuk patah tulang), pakaian dalam berkawat, cincin, hingga kalung, karena medan magnet CT Scan sangat kuat dan berisiko menyebabkan cedera.
Keamanan ruangan juga menjadi perhatian serius. Letak, arah, ketebalan dinding, jenis kaca, hingga suhu ruangan harus diperhitungkan untuk mencegah radiasi tembus ke luar dan mengenai orang lain. Suhu ruangan yang terjaga dingin juga berfungsi mencegah panas berlebih pada peralatan, meningkatkan kualitas gambar, serta menjaga sterilitas.
"Melihat bagaimana protokol ALARA (As Low As Reasonably Achievable) ditaati dalam praktik nyata memberikan penekanan yang jauh lebih kuat daripada hanya membaca bab Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di buku. Ini membentuk mentalitas aman dan bertanggung jawab yang mutlak dimiliki calon radiografer," imbuhnya.
Selain kompetensi teknis, mahasiswa juga belajar pentingnya etika dan komunikasi profesional. Radiografer tidak hanya berinteraksi dengan alat, tetapi juga dengan pasien dalam kondisi rentan.
Studi lapangan memungkinkan mahasiswa mengamati bagaimana radiografer senior berkomunikasi efektif, menenangkan pasien yang cemas, memberikan instruksi positioning yang jelas, serta bekerja sama dengan dokter spesialis radiologi atau perawat.
"Wawasan ini menanamkan kesadaran bahwa kompetensi teknis harus dibarengi dengan empati dan soft skill yang kuat," kata Arnyaka.
Ia menegaskan, studi lapangan adalah investasi paling berharga yang diberikan universitas kepada mahasiswa baru. Pengalaman melihat langsung radiografer bekerja di bawah tekanan, menangani pasien dengan empati, dan menjaga keselamatan radiasi secara ketat menumbuhkan rasa hormat dan komitmen terhadap profesi yang dipilih.
"Pengalaman nyata ini menjadi bekal paling ampuh, membuat kami tidak mudah menyerah saat menghadapi kesulitan mata kuliah di semester-semester berikutnya," pungkasnya.
Penulis:
Arnyaka Pramudya Mahardhika ( Mahasiswa D4 Teknologi Radiologi Pencitraan Unair )
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
