NTB Punya 7.800 Posyandu, Tapi Stunting Justru Naik. Ada Apa?

Fahrezi Chandra
Angka pernikahan dini di NTB mencapai 17,32%—hampir tiga kali lipat dari rata-rata nasional 6,92%. Foto: Gemini

SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Angka stunting di Nusa Tenggara Barat naik drastis dari 24,6% (2023) menjadi 29,8% (2024)—jauh dari target nasional 14%. Di balik lonjakan ini, ada benang merah yang jarang disentuh: tradisi Merariq dan pernikahan anak yang masih mengakar kuat.

Provinsi NTB kembali mencatat rekor yang mengkhawatirkan. Data BKKBN menunjukkan prevalensi stunting di wilayah ini melonjak 5,2% hanya dalam setahun terakhir, menjadikannya salah satu provinsi dengan beban stunting tertinggi di Indonesia—hampir 10 poin di atas rata-rata nasional.

Yang mengkhawatirkan, ini bukan semata masalah gizi atau layanan kesehatan yang buruk. Akarnya jauh lebih dalam: pernikahan anak yang terus berlangsung dengan dalih budaya.

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB mencatat 143 kasus perkawinan anak hanya dalam periode Januari-Mei 2025. Kabupaten Bima menjadi episentrum dengan 81 kasus. Sepanjang 2024, ada 581 kasus yang terdata di berbagai wilayah NTB.

Angka pernikahan dini di NTB mencapai 17,32%—hampir tiga kali lipat dari rata-rata nasional 6,92%. Dan Pemerintah Provinsi NTB sendiri telah mengakui: pernikahan dini adalah salah satu pemicu utama tingginya angka stunting di wilayah ini.

Tidak bisa dimungkiri, tradisi Merariq adalah bagian identitas masyarakat Sasak di NTB. Dalam praktik ini, calon mempelai laki-laki "melarikan" calon mempelai perempuan sebagai bagian dari proses menuju pernikahan. Secara adat, ini dipandang sah dan terhormat.

Namun, interpretasi dan pelaksanaan Merariq yang serampangan telah menjadi celah bagi legitimasi pernikahan anak. Dalam sejumlah kasus, praktik Merariq Kodeq (melarikan anak perempuan yang masih sangat muda) digunakan sebagai pembenaran sosial atas pernikahan dini—seolah budaya bisa menghapus risiko kesehatan yang nyata.

Ini bukan soal menghakimi tradisi. Ini soal mengakui bahwa interpretasi sembarangan terhadap Merariq sedang mengorbankan kesehatan generasi mendatang.

Hubungan antara pernikahan dini dan stunting bukan spekulasi, melainkan jalur biologis yang sudah terdokumentasi dengan baik. Remaja perempuan yang menikah dan hamil pada usia muda belum mencapai puncak perkembangan fisiologisnya. Tubuh mereka belum siap menopang kehamilan.

Akibatnya: anemia, kekurangan energi kronik, gangguan nutrisi yang berdampak langsung pada plasenta dan pertumbuhan janin. Ini memicu bayi berat lahir rendah (BBLR) dan kelahiran prematur—dua faktor risiko utama stunting pada anak.

Penelitian epidemiologis menunjukkan pola yang konsisten: semakin muda usia ibu saat hamil, semakin tinggi risiko anak mengalami stunting pada fase pertumbuhan awal.

Lebih jauh lagi, pernikahan dini memaksa remaja perempuan menghentikan pendidikan. Pengetahuan tentang gizi ibu dan anak menjadi sangat terbatas. Ketergantungan ekonomi pada pasangan atau keluarga meningkat, yang berdampak pada akses terhadap pangan bergizi dan layanan kesehatan berkualitas.

Praktik pemberian ASI eksklusif dan pola makan pada 1.000 hari pertama kehidupan—periode emas pencegahan stunting—sering kali diabaikan karena ketidaktahuan.

Pemerintah Provinsi NTB telah menjalankan program penguatan posyandu dengan hampir 7.800 unit dan lebih dari 39.000 kader aktif. Ada juga pendampingan keluarga berisiko stunting, pemberian makanan tambahan (PMT), dan suplementasi tablet tambah darah.

Namun, semua itu tidak akan cukup jika hulu masalahnya pernikahan anak tidak dihentikan. Intervensi gizi hanya akan menjadi tambal sulam jika bayi terus lahir dari rahim yang belum siap.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, libatkan tokoh adat dan tokoh agama dalam kampanye masif tentang batas usia pernikahan menurut hukum nasional dan risiko kesehatan nyata dari pernikahan dini. Mereka adalah gatekeeper budaya—tanpa dukungan mereka, perubahan tidak akan terjadi.

Kedua, reinterpretasi Merariq harus dilakukan dari dalam masyarakat Sasak sendiri. Tradisi ini bisa tetap dihormati tanpa harus menjadi pembenaran bagi pernikahan anak. Merariq bisa dijalankan dengan syarat usia minimal yang sesuai hukum dan kesiapan fisik-psikologis.

Ketiga, penegakan hukum yang konsisten. Dispensasi nikah yang mudah didapat di pengadilan agama adalah pintu belakang yang terus membuka celah pernikahan anak. Ini harus diperketat dengan standar yang jelas dan transparan.

Keempat, pemberdayaan ekonomi perempuan muda melalui program beasiswa, pelatihan keterampilan, dan akses modal usaha. Jika perempuan muda punya pilihan pendidikan dan ekonomi yang lebih luas, tekanan untuk menikah dini akan berkurang.

Stunting di NTB tidak akan turun selama pernikahan anak masih dibiarkan berlangsung atas nama budaya. Kita bisa menghormati tradisi tanpa harus mengorbankan kesehatan dan masa depan anak-anak kita.

Pertanyaannya bukan lagi "apakah pernikahan dini berkontribusi pada stunting?" Jawabannya sudah jelas: ya. Pertanyaan sebenarnya adalah: seberapa lama lagi kita akan berdiam diri?

Penulis

Mardiatun Kamil Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya

Editor : Arif Ardliyanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network