SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Gedung pencakar langit sering kali menyembunyikan realitas kelam di balik kaca-kacanya yang berkilau. Di Indonesia, sektor konstruksi masih menjadi salah satu penyumbang terbesar angka kecelakaan kerja.
Sering kali, tenggat waktu yang ketat dan efisiensi biaya menjadi pembenaran untuk menomorduakan nyawa manusia. Narasi usang bahwa "kecelakaan adalah nasib" atau bahkan mitos "tumbal proyek" masih bercokol kuat di benak sebagian pelaku industri.
Namun, di sudut Surabaya Barat, pembangunan Supermall Pakuwon Indah (SPI) Phase 5 menawarkan cerita berbeda. Proyek ini hadir sebagai bukti bahwa kemegahan infrastruktur tidak harus ditebus dengan darah pekerja.
Selama ini, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) kerap dipandang sebelah mata. Ia sering dianggap hanya sebagai "kosmetik" mahal yang memperlambat ritme kerja. Helm dan rompi sekadar syarat agar lolos inspeksi, bukan budaya yang mendarah daging.
Observasi di lapangan pada proyek SPI Phase 5 mematahkan stigma tersebut. Di sini, penerapan K3 melampaui sekadar pemakaian Alat Pelindung Diri (APD). Rompi dan sepatu bot hanyalah garis pertahanan terakhir.
Jauh sebelum pekerja menginjakkan kaki di lokasi, sistem mitigasi risiko telah bekerja. Prosedur kerja tidak dirancang di balik meja, melainkan melalui identifikasi bahaya nyata di lapangan. Mulai dari potensi jatuhnya material di ketinggian, hingga risiko operasional alat berat, semua dihitung dengan cermat.
Poin krusialnya bukan pada seberapa lengkap rambu keselamatan yang dipasang, melainkan pada penegakan aturan (enforcement).
Safety briefing di proyek ini bukan lagi ritual pagi yang membosankan, melainkan cetak biru keselamatan harian yang wajib dipatuhi. Terlihat ada pergeseran paradigma yang jelas: pekerja tidak lagi melihat aturan K3 sebagai beban birokrasi, melainkan hak asasi mereka untuk pulang ke rumah dalam keadaan utuh.
Mengapa pendekatan yang dilakukan di SPI Phase 5 ini penting?
Dalam kalkulasi proyek modern, kecelakaan kerja sejatinya adalah biaya tak terduga terbesar. Satu insiden fatal bisa menghentikan operasional berminggu-minggu, merusak reputasi, dan menghancurkan moral tim.
Dengan menempatkan keselamatan sebagai fondasi—bukan sekadar pelengkap—SPI Phase 5 membuktikan bahwa efisiensi dan kemanusiaan bisa berjalan beriringan.
Pembangunan SPI Phase 5 harus dilihat lebih dari sekadar penambahan landmark baru di Surabaya. Proyek ini adalah kritik berjalan bagi industri konstruksi nasional.
Ia membuktikan bahwa kita tidak perlu memilih antara estetika bangunan dan etika keselamatan. Jika satu proyek di Surabaya bisa melakukannya, tidak ada lagi alasan bagi kontraktor lain untuk menukar nyawa pekerja demi mengejar target penyelesaian.
Pada akhirnya, warisan terbesar sebuah gedung bukanlah seberapa tinggi ia menjulang, melainkan seberapa hormat ia memperlakukan tangan-tangan yang membangunnya.
Penulis
Kaheesha Shahirah Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
