SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) ibarat raksasa gagah yang gagap bicara. Sebagai kebijakan unggulan dengan anggaran triliunan rupiah, program ini meluncur bebas tanpa narasi tunggal yang konsisten. Di tengah polemik standar gizi yang tidak seragam, kendala logistik, hingga insiden keracunan siswa, publik dipaksa meraba-raba: siapa sebenarnya yang memegang kendali komunikasi program ini?
Keheningan satu pintu ini bukan sekadar masalah teknis administrasi, melainkan lubang menganga dalam manajemen kepercayaan publik.
Sejak awal digulirkan, MBG disambut dengan campuran optimisme dan skeptisisme. Namun, ketika implementasi di lapangan mulai batuk-batuk, pemerintah justru membiarkan bola liar informasi menggelinding tanpa arah.
Publik dipaksa menyaring serpihan informasi dari berbagai sumber yang tumpang tindih, terkadang dari Kantor Staf Presiden (KSP), Badan Gizi Nasional (BGN), atau melalui pernyataan parsial para menteri terkait.
Situasi ini menciptakan keributan birokrasi. KSP hanya berfungsi sebagai koordinator, sementara BGN adalah eksekutor teknis. Keduanya tidak didesain untuk menjadi wajah politis yang menenangkan publik saat krisis terjadi.
Akibatnya, jawaban yang sampai ke masyarakat sering kali bersifat administratif, kaku, dan gagal menyentuh inti kegelisahan orang tua siswa. Tanpa satu suara resmi yang ditunjuk sebagai Juru Bicara (Jubir) Khusus, pemerintah membiarkan spekulasi liar dan hoaks mengisi ruang kosong tersebut.
Kita bisa bercermin pada tetangga global. Di India, Mid-Day Meal Scheme, program makan siang sekolah terbesar di dunia dijalankan dengan kesadaran penuh akan tingginya risiko sosial-politik. Pemerintah India membangun sistem akuntabilitas cepat tanggap di mana otoritas khusus siap menjawab setiap isu yang muncul, sekecil apa pun.
Begitu pula di Korea Selatan. Program makan siang gratis dianggap sebagai kontrak sosial sakral. Transparansi mulai dari asal-usul bahan hingga evaluasi gizi dikelola lewat satu pintu informasi yang mudah diakses. Mereka sadar, program yang melibatkan uang rakyat dalam skala masif membutuhkan wajah yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
Sebaliknya di Indonesia, MBG seolah dijalankan dengan prinsip trial and error yang membahayakan.
Pemerintah mungkin berdalih bahwa struktur yang ada sudah cukup. Namun, ini adalah logika yang cacat. Program prioritas membutuhkan penanganan prioritas. Sejarah membuktikan efektivitas strategi ini. Ingat bagaimana penunjukan juru bicara khusus bencana di era Presiden SBY mampu meredam kepanikan? Atau bagaimana Juru Bicara Satgas COVID-19 menjadi mercusuar informasi yang valid di tengah badai pandemi? MBG, dengan skala dampak jutaan jiwa dan porsi APBN yang mengubah postur fiskal negara, adalah sebuah operasi militer non-perang. Menjalankannya tanpa panglima komunikasi adalah sebuah kecerobohan.
Lebih jauh lagi, ketiadaan juru bicara ini memantik pertanyaan yang lebih sinis: apakah ini bentuk ketidaksiapan, atau sebuah kesengajaan? Tanpa sosok tunggal yang menjadi wajah program, tidak ada satu orang pun yang bisa disalahkan secara penuh jika program ini gagal. Ketiadaan subjek yang jelas membuat tanggung jawab menjadi kabur.
Pemerintah harus segera memutuskan langkah. Kebijakan besar menuntut tanggung jawab besar. Jika pemerintah terus membiarkan MBG bergulir tanpa Juru Bicara Khusus, mereka tidak sedang menjalankan program kesejahteraan, melainkan sedang bermain judi dengan kredibilitas negara.
Jika krisis besar terjadi esok hari entah itu korupsi logistik atau keracunan massal kepada siapa telunjuk publik harus diarahkan? Keheningan pemerintah hari ini adalah bom waktu yang siap meledak kapan saja. Jangan sampai program yang berniat mulia memperbaiki gizi anak bangsa justru berakhir menjadi beban sejarah akibat buruknya komunikasi.
Penulis
Daffa Dwi Fahrezzy Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
