SURABAYA, iNews.id - Nama Seni Jaranan atau Jaran Kepang sudah tidak asing terdengar. Kesenian tradisional dari Jawa Timur yang dahulu selalu menjadi andalan masyarakat dalam mengisi hari-hari besar.
Meskipun pada kenyataannya penamaan kesenian ini pada masing-masing daerah terdapat sedikit perbedaan, namun hampir semuanya memiliki citarasa yang sama dan selalu diidentikan dengan istilah “kuda buatan/mainan“.
Ketua Asosiasi seniman Lira Indonesia (ASLI) Jawa Timur, Abdoel Semut, menuturkan istilah Jaranan sendiri berasal dari bahasa Jawa. Jaran yang berarti Kuda. Sedangkan akhiran 'an' dimaknai sebagai bukan sungguhan atau hanya sekedar mainan/buatan.
"Jadi, kesenian ini bisa diartikan sebagai suatu seni yang dalam pelaksanaannya menggunakan properti kuda buatan," tuturnya, di Sanggar Remongnya yang berada di daerah Dupak, Bangunsari Surabaya.
Sedangkan bahan baku properti jaranan sangat beragam. Tergantung pada kreativitas masyarakat daerah pendukungnya.
Semut menjelaskan, mengenai filosofis pemilihan “kuda” bukannya tanpa makna. Dalam budaya Jawa, Jaran atau Kuda merupakan binatang simbol kekuatan, lambang keperkasaan dan lambang kesetiaan.
"Ketika manusia menggunakan kuda sebagai kendaraannya, maka manusia digambarkan sedang berjuang menempuh kehidupan untuk mencapai tujuan hidupnya," papar Semut yang jugayoutuber di kanal Sabda Aksara Channel itu.
Lebih dari itu, bahwa Seni Jaranan dan Bantengan adalah kamuflase dari Seni Beladiri. Pada Zaman penjajahan, kesenian tersebut pernah dilarang oleh Belanda.
"Jadi, seni tersebut juga sebagai wadah pelestarian kesenian Pencak Silat yang indah, ramah dan melindungi," terangnya.
Kembang-kempis Kesenian Jaranan Kala Pandemi Covid-19
Menurut semut, di Jawa Timur terdapat banyak paguyuban jaranan atau bantengan yang masih mampu menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Fungsi dari paguyupan adalah sebuah ruang untuk melstarikan budaya dan seni taradisi jaranan dan bantengan sebagai warisan leluhur bangsa Jawa, harus dijaga dan diwariskan kepada generasi muda agar tetep lestari.
Semut menyebut, salah satu entitas yang masih aktif adalah paguyuban WALUYO JATI, Pimpinan Bopo Cholis dari kabupaten Sidoarjo
Mereka terus berusaha menyalakan api eksistensinya. Akan tetapi kondisinya tampak kembang kempis dihajar pandemi Covid-19.
"Bagaimana tidak kembang kempis? secara kuantitas jumlah pementasan sangat menurun darastis karena tersandera PPKM yang berjilid-jilid," ungkap Semut.
Belum lagi, beberapa dari seniman jaranan atau bantengan juga harus kehilangan mata pencaharian utama mereka karena pandemi. "Ini kan sangat merisaukan," ucapnya.
Berikut Saran dan Rekomendasi Asosiasi Seniman LIRA Kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur :
1. Mendorong dinas pariwisata dan kebudayaan jawa timur agar lebih serius melindungi asosiasi/paguyuban seniman terdampak pandemi Covid-19.
2. Mendorong dinas pariwisata dan kebudayaan jawa timur untuk memberikan insentif fiscal dan bantuan social kepada asosiasi/paguyuban seniman terdampak pandemic Covid-19.
3. Mendorong dinas pariwisata dan kebudayaan jawa timur untuk memfasilitasi asosiasi/paguyuban seniman untuk mendapatkan sertifikat CHSE “cleanliness, healthy, safety, and environment sustainability”.
4. Mendorong dinas pariwisata dan kebudayaan jawa timur untuk melibatkan asosiasi/paguyuban kesenian pada event-event yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat.
"Demikian aspirasi kami mewakili para seniman yang tergabung dalam asosiasi seniman lira Indonesia “ASLI” Jawa Timur. Semoga masih ada hati nurani dan ruang terbuka untuk para seniman dalam upaya menyalakan api perjuangan menjaga kesenian dan kebudayaan Jawa Jimur dari abrasi globalisasi. Salam budaya, rahayu rahayu rahayu," pungkas Semut.
Editor : Ali Masduki