Drama politik yang berujung kudeta pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berlangsung dari tahun 1999 hingga tahun 2001.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Gus Dur menciptakan berbagai gejolak politik. Mulai dari kebijakan yang membuat banyak kalangan menilai sebagai hal yang kontroversial sampai drama pencopotan presiden atau kudeta yang hingga kini masih memberikan banyak pelajaran penting dalam sejarah perpolitikan Indonesia.
Tanggal 20 Oktober 1999 merupakan detik-detik terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden Republik Indonesia ke-3, periode tahun 1999 hingga tahun 2004 melalui pemilihan suara yang dilakukan di Gedung Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR).
Gus Dur yang diusung oleh partai koalisi poros tengah yang terdiri dari partai-partai Islam memperoleh 373 suara dan berhasil mengalahkan Megawati Sukarno Puteri yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan perolehan 313 suara.
Walaupun pada saat itu PDIP sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara 33,7 persen namun tidak memiliki kursi mayoritas di parlemen yang kemudian membuat Megawati kalah dalam pemilihan presiden.
Dalam pemilihan wakil presiden yang dilakukan pada tanggal 21 Oktober 1999, Gus Dur berhasil meyakinkan berbagai pihak sehingga Megawati terpilih menjadi wakil presiden dan mengalahkan Hamza Haz.
Setelah dilantiknya Gus Dur dan Megawati sebagai presiden dan wakil presiden kemudian membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Kabinet yang dibentuk oleh Gus Dur dan Megawati ini terdiri dari berbagai tokoh partai politik. Beberapa tokoh diluar partai dan dari militer juga masuk dalam Kabinet Persatuan Nasional.
Pada masa perjalanan awal Indonesia menuju reformasi, Gus Dur yang belum lama menjadi presiden langsung membuat gebrakan yang sangat kontroversial dengan membubarkan Departemen Sosial yang menurut Gus Dur menjadi ladang para penjilat kertas ber-angka.
Gus Dur juga membubarkan Departemen Penerangan yang dianggap sebagai senjata rezim Orde Baru dalam menguasai berbagai media.
Setelah melakukan gebrakan yang dinilai banyak kalangan sebagai hal yang kontroversial, Gus Dur juga ingin mencabut TAP MPRS tentang pelarangan komunisme di Indonesia namun hal ini mendapat penolakan keras dari berbagai pihak terutama dari Partai Golkar.
Menurut Partai Golkar hal itu tidak sejalan dengan ideologi Pancasila. Selain itu banyak juga tuduhan yang dialamatkan kepada Gus Dur dan menteri-menterinya sebagai persekongkolan komunis dan ingin membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia.
Kebijakan Gus Dur yang kontroversi lainnya adalah Gus Dur juga berencana untuk membangun kerjasama diplomasi dengan negara Israel.
Hal ini membuat terjadinya penolakan dari berbagai pihak termasuk dari Hamza Haz yang kemudian pada bulan November 1999 dia mengundurkan diri dari jabatannya dari Menteri Pengentasan Kemiskinan (Menkotaskin).
Pengunduran Hamza Has ini sebagai bentuk penolakan Kerjasama yang dilakukan oleh Gus Dur atas nama Negara Indonesia dengan Negara Israel.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dikenal sebagai Bapak Pluralisme ini berusaha untuk melakukan pendekatan Politik Diplomasi dan meminimalkan pendekatan keamanan.
Misalnya dalam menangani konflik Aceh, Gus Dur mencoba untuk melakukan pendekatan yang lebih lembut dengan mengurangi jumlah personil militer yang ditempatkan di Aceh.
Selain konflik Aceh, Gus Dur juga melakukan pendekatan yang lebih humanis terkait konflik di Papua. Gus Dur yang berkunjung ke pada waktu itu bernama Irian Jaya bulan Desember 1999 saat itu berusaha untuk meyakinkan para pemimpin-pemimpin putera Papua untuk tetap bernaung dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Gus Dur juga mendorong penggunaan nama Irian Jaya diganti dengan nama Papua dan memberikan kesempatan untuk mengibarkan bendera bintang kejora asalkan berdampingan lebih rendah dengan bendera merah putih karena bagi Gus Dur selama itu hanyalah bendera kultural dan bukan bendera simbol politik maka pengibaran bendera bintang kejora bukanlah masalah yang serius.
Perjalanan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur selama menjadi presiden memang tidak lebih dari 2 tahun. Semasa menjadi presiden, Gus Dur tercatat melakukan perjalanan ke luar negeri kurang lebih dari 4 kali dalam sebulan dan selama 22 bulan kurang lebih 80 kali melakukan perjalanan ke luar negeri.
Namun ada alasan tersendiri bagi Gus Dur yaitu banyaknya kelompok separatis yang ada di Indonesia. Jadi menurut Gus Dur untuk meyakinkan berbagai negara bahwa integritas Indonesia masih ada.
Untuk merealisasikan agenda reformasi yang mulai berjalan sejak tahun 1998 dan untuk membersihkan sisa-sisa kekuatan orde baru, langkah awal yang dilakukan oleh Gus Dur adalah dengan mengganti Ketua Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yaitu Parni Hadi diganti dengan Mohamad Sobary.
Pencopotan ini dilakukan karena adanya spekulasi bahwa Parni yang ditempatkan di LKBN Antara dianggap selalu mengamankan kebijakan yang dibuat oleh Presiden B.J. Habibie.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga melakukan agenda reformasi dikubu militer dan menjauhkan militer dari ruang sosial politik.
Hal ini dilakukan saat Gus Dur melakukan kunjungan ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan mengajukan permintaan kepada Jenderal Wiranto untuk mengundurkan diri dari Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan karena Wiranto merupakan salah satu wajah lama Orde Baru. Menurut Gus Dur hal itu dapat menghambat jalannya agenda reformasi terhadap militer.
PBB juga melaporkan bahwa Wiranto telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor-Timur. Pada akhirnya permintaan Gus Dur ini dipenuhi oleh Wiranto yang kemudian Wiranto lebih aktif di partai politik.
Tidak lama setelah pencopotan Wiranto yaitu pada bulan Maret tahun 2000, Gus Dur mengangkat perwira militer yaitu Agus Wirahadikusuma. Menurut Gus Dur, Agus Wirahadikusuma adalah sosok perwira yang reformis.
Namun Langkah Gus Dur tersebut tidak disukai oleh beberapa pihak petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gebrakan yang dilakukan terhadap tubuh militer ini membuat hubungan Gus Dur dengan TNI mulai memburuk.
Memburuknya hubungan Gus Dur dengan TNI kian semakin parah setalah Gus Dur menuduh sejumlah oknum TNI ikut terlibat dalam membantu milisi Laskar Jihad dalam konflik Suku, Agama dan Ras (SARA) di Ambon.
Menurut Greg Barton, Penulis Buku “Biografi Gus Dur”, menyebutkan bahwa militer yang selama 32 tahun menjadi bagian dari kekuasaan rezim Orde Baru harus ditata ulang dan nepotisme di militer juga harus dihilangkan untuk mensukseskan agenda reformasi yang sedang berjalan.
Selain melakukan agenda reformasi dalam kubu militer, Gus Dur juga melakukan langkah reformasi dalam birokrasi pemerintahan. Dimana pada saat pemerintahan Orde Baru banyak terjadi praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang terjadi.
Langkah awal yang dilakukan Gus Dur adalah dengan menempatkan orang-orang yang memiliki kredibiltas dalam keahlian dan keabsahan serta memiliki moral yang baik demi mewujudkan cita-cita reformasi.
Setelah pencopotan yang dilakukan oleh Gus Dur terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kemanan (Menkopolhukam), selanjutnya Gus Dur juga mencopot beberapa Menteri lain dengan alasan terlibatnya para Menteri itu dalam kasus korupsi.
Pada tanggal 24 April 2000, Gus Dur mengambil keputusan dengan mencopot dua Menteri sekaligus yaitu Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi.
Tindakan Gus Dur yang dinilai oleh sejumlah kalangan tidak disertai dengan bukti konkret ini yang kemudian membuat hubungan Gus Dur dengan beberapa partai politik kian memburuk.
Bahkan Jusuf Kalla yang dituduh melakukan korupsi merasa kesal dengan Gus Dur karena dia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengklarifikasi tuduhan tersebut dan kekesalan Jusuf Kalla ini sempat dimuat dalam majalah tempo pada tanggal 7 Mei 2000. Akibat Tindakan-tindakan Gus Dur tersebut banyak kalangan elit politik yang mengecam Gus Dur.
Setelah pencopotan dua menteri, hanya berselang beberapa minggu Gus Dur mendapat serangan dari beberapa pihak dengan tuduhan skandal korupsi.
Tuduhan skandal kasus korupsi ini tidak tanggung-tanggung. Dua kasus korupsi Buloggate dan korupsi Bruneigate dituduhkan kepada Gus Dur. Dua tuduhan yang ditujukan kepada Gus Dur ini kemudian dijadikan senjata oleh lawan-lawan politiknya untuk menyerang Gus Dur.
Bahkan ada inisiatif untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) bertujuan untuk memeriksa dan mengadili kasus korupsi tersebut yang sebagian besar merupakan dari fraksi Partai Golkar dan PDIP.
Namun hal tersebut dianggap enteng oleh Gus Dur karena dua kasus korupsi yang dituduhkan kepada Gus Dur memang tidak pernah terbukti. Justru Gus Dur mengumumkan kepada publik bahwa pemerintah Indonesia menerima bantuan dari Kesultan Brunei.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang melakukan berbagai kebijakan yang dianggap banyak kalangan sebagai hal yang kontroversial dan adanya tuduhan tentang keterlibatan korupsi membuat banyak partai politik seperti Golkar, PDIP bahkan sampai koalisi poros tengah yang mencalonkan Gus Dur pun ikut dalam wacana pencopotan Gus Dur sebagai presiden.
Koalisi poros tengah yang awalnya mendukung Gus Dur, lama kelamaan kian luntur menyusul pernyataan Gus Dur yang mengecam beberapa kelompok Islam karena kelompok tersebut ikut berjihad ke Ambon. Yang menurut Gus Dur jihad tersebut merupakan sesuatu yang sangat merugikan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Gus Dur pada saat aksi sejuta umat di Monas pada tanggal 7 Januari tahun 2000 yang dimotori oleh Ketua MPR Amin Rais.
Pada saat itu Gus Dur mengungkpan bahwa beliau tidak peduli dengan berbagai aksi yang dilakukan oleh berbagai kelompok apabila aksi tersebut mengancam keamanan negara, maka tindakan tegas akan dilakukan.
Ketegangan yang sempat terjadi antara Gus Dur dengan beberapa partai politik seperti Golkar dan PDIP akibat berbagai pencopotan terhadap sejumlah menteri sempat mereda setelah dalam siding tahunan MPR tahun 2000.
Pidato Gus Dur yang mewakilkan sebagian tugasnya kepada Wakil Presiden Megawati diterima oleh mayoritas anggota MPR. Namun pada tanggal 23 Agustus tahun 2000, Gus Dur mengumumkan kepada publik tentang kebinet barunya yang lebih ramping dan banyak mengambil dari figure non partisan.
Akibat kebijakan Gus Dur yang merugikan koalisi partai yang berada di dalam kabinet membuat hubungan Gus Dur dengan beberapa partai yang sempat harmonis sebentar kembali menjadi kian buruk.
(Penulis : Oktavianto Prasongko)
Editor : Ali Masduki