SURABAYA, iNews.id - Pengendalian diri menjadi hal yang penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia harus mampu beradaptasi dengan lingkungan.
Untuk bisa menguasai diri, maka pendidikan karakter menjadi point penting dalam proses belajar. Karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakanlah akhlak yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji dinamakanlah akhlak yang buruk. Tingkah laku seseorang itu adalah lukisan batinnya.
Guru Besar Bidang Pendidikan IPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, Prof. Muslimin Ibrahim, menuturkan ada banyak cara untuk belajar tentang pengendalian diri. Salah satunya nilai-nilai pendidikan karakter di dalam konten IPA.
Prof. Muslimin mencontohkan, ketika sekelompok siswa belajar tentang bagaimana telur kupu-kupu menetas menjadi ulat, kemudian ulat membentuk kepompong untuk selanjutnya berubah menjadi kupu-kupu dewasa, mereka akan menemukan konsep perubahan bentuk atau metamorphosis sempurna.
"Mereka akan mengidentifikasi tahapan perubahan berdasar fakta hasil pengamatannya. Mereka akan menemukan tahapan metamorphosis," tuturnya ketika berpidato dalam pengukuhan Guru Besar Unusa, Kamis (6/01).
Sejauh ini, lanjutnya, proses tersebut adalah pengajaran. Melalui pengamatan siswa belajar konsep metmorfosis, tahapan-tahapannya, perilaku setiap tahapan dan seterusnya.
Prof. Muslimin menjabarkan, pada umumnya pembelajaran yang dilakukan di kelas, berhenti sampai pada tahapan tersebut (pengajaran).
Pada pembelajaran karakter terintegrasi IPA, tegas dia, maka pembelajaran harus dilanjutkan, dengan menjadikan temuan pada tahapan pengajaran sebagai model karakter.
Guru dapat mengajak siswa mengamati lebih jauh bagaimana sifat dan perilaku ulat, yaitu rakus, banyak makan, merusak, bentuknya membuat orang menjadi jijik dan seterusnya (sikap negatif).
"Selanjutnya ulat melakukan pengendalian diri, dia tidak lagi makan, dia “berpuasa”," terangnya.
Hasilnya, siswa dapat melihat lahirnya kupu-kupu yang indah. Guru dapat menggaris bawahi fakta yang terjadi. Yaitu jika menginginkan perubahan menjadi lebih baik, maka setiap orang harus mampu mengendalikan seperti dicontohkan oleh kupu-kupu.
"Kita harus menyadari bahwa hak kita dibatasi oleh hak orang lain. Kita harus mampu mengendalikan diri, kita perlu berpuasa," jelasnya.
Prof. Muslimin mengatakan, kupu yang indah adalah metaphor orang betaqwa, tidak seperti ulat. Kupu-kupu makanannya terpilih hanya sari pati bunga. Kupu-kupu menjaga makanannya hanya yang baik dan halal.
"Andai saja semua orang menjaga makanannya, tentu tidak akan ada nada korupsi, perampokan, pencurian dan sejenisnya," tukasnya.
Editor : Ali Masduki