Hingga saat ini, lanjutnya, pihak managemen PT. ASUS, tidak mampu memberikan alasan pemberhentian, serta tidak mampu membuktikan kesalahan apa yang telah dilakukan oleh kliennya selama bekerja. Sehingga harus diperlakukan sewenang-wenang oleh PT. ASUS.
Perbuatan sewenang-wenang itu bermula saat adanya anjuran dari Pemerintah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta kepada beberapa perusahaan yang berada dalam domisili/wilayah hukum DKI Jakarta untuk menerapkan WFH (Work from Home) guna mengurangi dampak dari resiko akibat pandemi COVID-19.
Atas anjuran tersebut, perusahaan ASUS turut memberlakukan Work From Home (WFH) kepada karyawannya tepat sejak sekitar bulan Maret 2020. Kami menilai terdapat tindakan kesewenang-wenangan terhadap Klien kami selama WFH tersebut.
"Adanya arogansi kekuasaan dengan menyampaikan informasi melalui email perihal Surat Teguran, SP2, SP3, Surat Panggilan 1, Surat Panggilan 2, hingga kemudian mengirimkan email dengan subjek Pemberitahuan: Anggapan Pengunduran Diri per 16 Oktober 2020. Yang seolah menghindarkan diri perusahaan dari 2 (dua) aspek ke Klien kami," terangnya.
Jundri menjelaskan, dua aspek tersebut yakni aspek ruang demokrasi antara Pengusaha dan Pekerja yang seharusnya dapat digunakan untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial. Kemudian aspek kewajiban hukum yang timbul apabila terjadi perselisihan PHK.
Menurutnya, serangkaian praktik email terselubung dimaksud dapat menjadi preseden buruk bagi perlindungan hak-hak hukum ketenagakerjaan ditanah air karena sangat jelas bertentangan dengan amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Memang tidak dapat dipungkiri, selama pandemi berlangsung, banyak perusahaan sengaja merumahkan pekerjanya sementara waktu dan juga mempekerjakan karyawannya dari rumah (WFH) hingga terkadang berujung PHK secara terselubung.
"Namun kami berharap dan meyakini perusahaan ASUS yang merupakan perusahaan PMA dengan bermarkas di negara asing tersebut tidak memiliki maksud dan tujuan demikian," bebernya.
Editor : Ali Masduki