SURABAYA, iNews.id - Sentimen kesukuan yang sangat terkenal di Indonesia adalah antara 2 suku terbesar di negara ini yaitu antara Suku Jawa dengan Suku Sunda.
Sentimen ini mungkin sudah tidak begitu terasa lagi saat ini. Namun 2 atau 3 dekade sebelumnya masih sangat terasa. Hal ini terjadi karena adanya sejarah Perang Bubat.
Perang Bubat adalah perang yang dikisahkan terjadi pada masa pemerintahan raja Kerajaan Majapahit ke-4 yaitu Hayam Wuruk dibawah pimpinan Mahapatih-nya Gajah Mada.
Perang ini adalah perang yang tak berimbang karena sejumlah besar pasukan Kerajaan Majapahit melawan sekelompok kecil pasukan Kerajaan Sunda pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana. Perang ini terjadi di Desa Bubat, Jawa Timur, sekitar tahun 1357 M.
Alkisah Prabu Hayam Wuruk yang sedang mencari permaisuri terpikat dengan lukisan wajah puteri Kerajaan Sunda. Sang prabu pun mengirim utusan untuk melamarnya. Pihak Kerajaan Sunda mengatakan akan mempertimbangkannya.
Beberapa bulan kemudian Kerajaan Sunda pun memutuskan untuk menerima pinangan tersebut. Rombongan kerajaan pun berangkat ke Kerajaan Majapahit. Dikisahkan disinilah terjadi kesalahpahaman.
Kerajaan Majapahit mengira kedatangan pasukan dari Kerajaan Sunda adalah untuk mengaku takluk kepada Kerajaan Majapahit secara sukarela. Kerajaan Sunda tersinggung, debat pun tak terelakkan hingga terjadilah peperangan.
Perang tersebut berlangsung tidak seimbang hingga akhirnya pasukan Kerajaan Majapahit berhasil membantai seluruh pasukan Kerajaan Sunda termasuk berhasil membunuh Prabu Linggabuana.
Putri Prabu Linggabuana yaitu Dyah Pitaloka Citraresmi yang awalnya ikut karena akan dinikahkan dengan Raja Hayam Wuruk juga tewas karena bunuh diri.
Namun ternyata kisah ini tidak memiliki bukti otentik dalam bentuk prasasti. Bahkan dalam Kitab Negarakertagama kisah perang ini tidak dituliskan. Padahal kitab ini ditulis pada zaman Raja Hayam Wuruk.
Sumber tertua dari kisah ini adalah 2 karya sastra berbahasa jawa dalam bentuk tembang atau syair yaitu Kidung Sunda dan Kitab Pararaton.
Tidak diketahui dengan jelas siapa yang menulis kedua kitab ini. Kedua kitab ini ternyata dituliskan ratusan tahun setelah Kerajaan Majapahit runtuh.
Jika dirunut lebih jauh lagi ternyata kedua kitab ini ditemukan dan diterjemahkan pada masa Kolonialisme Belanda. Tidak pernah ditemukan naskah aslinya, yang ada hanyalah terjemahan dari kedua kitab tersebut.
Kitab Kidung Sunda ditemukan oleh Pakar Sejarah Belanda bernama Prof. C.C.Berg, pada tahun 1920-an. Beberapa versi Kitab Kidung Sunda diantaranya adalah Kidung Sundayana.
Kisah yang ada disini adalah sebagai penjelasan dari Perang Bubat dalam Kitab Pararaton. Kitab atau Serat Pararaton sendiri adalah naskah tipis setebal 32 halaman yang menceritakan tentang silsilah raja-raja Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit.
Kisah tentang Ken Arok sangat dominan dalam kitab ini. Naskah kitab ini juga tidak pernah ditemukan. Naskah Pararaton hanya ditemukan berdasarkan terjemahan dari JLA Brandes.
Banyak kontradiksi sejarah dalam kedua kitab ini saat dibandingkan dengan naskah resmi dalam bentuk prasasti dan kitab resmi kerajaan.
Misalnya dalam silsilah kerajaan yang bercampur baur kemudian perihal kematian Gajah Mada dan lain sebagainya. Dari isi kedua kitab tersebut kisah Perang Bubat ini diduga merupakan kisah provokasi dan adu domba antara 2 suku besar di wilayah Kolonialisme Belanda yaitu Jawa dan Sunda.
Jika kita perhatikan momen terbitnya Kitab Kidung Sunda dan Pararaton yaitu sekitar tahun 1920-an maka timbul kecurigaan bahwa kitab ini sengaja ditulis sebagai propaganda untuk membangkitkan sentimen antar suku yang bertujuan untuk mengacaukan momen Sumpah Pemuda Tahun 1928.
Andai saja naskah asli dapat ditemukan maka tentu dapat dilakukan uji orisinilitas melalui uji Radiocarbon umur kertas. Namun faktanya hingga kini naskah asli kedua kitab itu tidak pernah ditemukan.
Menurut KH. Agus Sunyoto, M.Pd, seorang penulis, sejarawan dan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia PBNU (LASBUMI) Perang Bubat itu hasil kreasi Penjajah Belanda yang telah melekat pada persepsi banyak orang.
Sebagian besar ceritanya berasal dari Pararaton, Kidung Sunda serta histografi jenis babad. Namun sejatinya dokumen sejarah yang nyata tidak ada. Bahkan dikroscek di perpustakaan di Leiden Belanda, cerita Perang Bubat sebagai bagian sejarah tidak ditemukan.
Kitab Pararaton sendiri sebenarnya merupakan sebuah naskah cukup singkat karena kitabnya para raja Jawa ini hanya berisi sekitar 32 halaman saja yang ukurannya seukuran folio dan terdiri atas 1126 baris.
Kitab ini juga dikenal dengan nama Pustaka Raja yang didalam Bahasa Sansekerta juga berarti kitab para raja. Kitab ini cukup detail menjelaskan tentang para raja akan tetapi tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa orang yang menjadi penulis kitab Pararaton ini.
Dengan demikian sejarahwan kesulitan melacak siapa yang menulis Pararaton. Bahkan isinya berkisah mistis mitologis sampai ke nenek moyang Majapahit yang diarahkan ke Ken Arok, penjahat yang bisa menjadi raja setelah Revolusi Keris Empu Gandring, yang juga dahsyat cerita mistisnya. Kisah Perang Bubat sendiri hanya ada di Pararaton ini. Sedangkan dilacak di literatur lain tidak ditemukan.
Perang Bubat adalah cerita yang dianggap sejarah namun tidak bisa di kroscek di kitab atau literatur lainnya, sedangkan sudah terlanjur menimbulkan luka budaya. Kisah ini ternyata mampu menimbulkan berabad konflik antara 2 suku besar di negara ini yaitu Suku Jawa dan Suku Sunda.
Dan memang kenyataannya dalam Suku Jawa telah tertanam bahwa “jangan menikahi gadis Sunda karena orangnya begini begitu dan lain sebagainya”. Ini merasuk dalam nadi jiwa para laki-laki Jawa.
Sebaliknya, di Jawa Barat sendiri pun juga ada himbauan turun temurun bahwa “jangan menikah dengan orang Jawa, nanti akan begini begitu dan seterusnya”.
Sungguh ini sangat menikam urat sosiopsikologis kultural 2 suku tersebut.
Di jaman Belanda, jika Suku Jawa dan Suku Sunda Bersatu maka akan sangat beresiko dalam perlawanan terhadap kolonial. Maka terjadilah Perang Bubat, yang sejatinya adalah mega hoax di jaman Belanda.
(Penulis: Oktavianto Prasongko)
Editor : Ali Masduki