SURABAYA, iNewsSurabaya.id - LSF menyadari bahwa hanya kebijakan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) tidak cukup untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif film dan iklan. Oleh karena itu, LSF memperkenalkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (GNBSM) sebagai solusi inovatif.
Pada acara di Ballroom Hotel Movenpick Surabaya, Jawa Timur, Saptari Novia Stri, S.H., Ketua Subkomisi Hukum dan Advokasi Komisi II, mewakili LSF dalam menyampaikan pentingnya GNBSM. Universitas Muhammadiyah Surabaya juga turut mendukung inisiatif ini.
Dr. Ma’ruf Sya’ban, S.T, S.E, M.AK, Wakil Rektor III Universitas Muhammadiyah, menekankan perlunya LSF untuk menjadi lembaga yang tidak hanya menyensor film, tetapi juga memberikan edukasi kepada masyarakat.
Menurut Hardly Stefano Fenelon Pariela, SE., M.KP, Anggota Dewan Pengawas LPP TVRI, hadirnya LSF penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai budaya dalam film tidak bertentangan dengan budaya Indonesia.
"Dalam era Disrupsi Digital, literasi film menjadi semakin penting," katanya.
Dengan adanya MoU dengan universitas-universitas, termasuk Universitas Muhammadiyah Surabaya, GNBSM akan semakin diperkuat.
Mukayat Al Amin, M.Sosio, Sekretaris Komisi III LSF RI, menegaskan bahwa perubahan zaman membutuhkan adaptasi dalam menentukan tontonan yang sesuai dengan nilai-nilai Indonesia.
Dr. Tho’at Stiawan, M.H.I., Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya, menyoroti pentingnya peran kampus dalam literasi digital, sebagai bagian dari perkembangan kognitif yang menentukan masa depan bangsa.
Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri diperkenalkan di kampus. Foto iNewsSurabaya/hendro
Dengan turut menghadirkan narasumber terkemuka, rangkaian kegiatan ini bertujuan untuk memberikan informasi dan literasi langsung kepada masyarakat mengenai pentingnya Budaya Sensor Mandiri.
Editor : Arif Ardliyanto