SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Kabar mengejutkan muncul dari dunia pendidikan di Indonesia. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menerima 7.598 usulan guru besar (Gubes), jumlah usulan tersebut tak bisa loloskan karena adanya pelanggaran.
Tak tanggung-tanggung, sebanyak 64 persen ditolak dengan berbagai alasan, salah satunya ada pelanggaran etika akademik yang dilakukan pemohon guru besar. Bahkan disinyalir ada yang ketahuan menggunakan joki untuk lolos sebagai guru besar, atau Profesor. Bentuk-bentuk praktek joki adanya peran tim untuk meloloskan Jurnal discontinuance.
Rektor Universitas W.R. Supratman Surabaya, Dr. H Bachrul Amiq, S.H., M.H mengatakan, secara prosedur untuk mendapatkan gelar Profesor cukup sulit dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah.
"Panjang mas prosesnya, tidak semua dosen mampu memenuhi kebutuhan persyaratan yang ditentukan," katanya.
Diantara ketentuan yang harus dipenuhi adalah pendidikan atau gelar, kemudian riset atau penelitian dan pengabdian yang harus dilakukan oleh dosen bersangkutan. Jadi, persyaratan ini harus standar yang dibutuhkan.
Begitu juga dengan publikasi, ujarnya, tidak semua bisa dilakukan. Publikasi internasional ada ketentuan khusus yang harus dilalui, jika tidak standar pengajuan gelar Profesor tidak akan bisa diperoleh. "Pendidikan, penelitian dan pengabdian itu dasarnya," ungkap Amiq.
Sementara itu, salah satu Rektor di Jawa Timur mengungkapkan, gelar Profesor atau Guru Besar di Indonesia tidak murni bisa dicapai atas kualitas dosen yang mengajukan. Banyak juga diantara Profesor-profesor yang ada menggunakan jasa pihak ketiga, misalnya publikasi internasional.
"Kan aneh juga, dalam setahun ada tiga riset yang dipublikasikan internasional. Idealnya kan dua, aneh kalau ada yang tiga, belum lagi publikasi internasional yang menggunakan salah satu negara," katanya.
Disisi lain, Direktur Sumber Daya Kemendikbudristek Mohammad Sofwan Effendi, Selasa (24/1/2023) pernah mengatakan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan pengajuan guru besar ini ditolak, di antaranya karena jurnalnya tidak bagus, relevansi keilmuannya tidak cocok, pelanggaran etika akademik, dan sisanya berkaitan karena masalah administrasi.
Dalam penilaian calon guru besar, Kemendikbudristek mempertimbangkan kualitas jurnal tempat artikel ilmiah. Pertimbangan berikutnya menyangkut relevansi keilmuan antara penulis dan jurnal.
"Kalau dalam guru besar, minimal ada tiga keselarasan yaitu sesuai S3, sesuai bidang penugasan, dan sesuai dengan bidang yang ditulis," tutur Sofwan.
Hal yang tidak kalah penting adalah bebas dari pelanggaran etika akademik. Adapun terkait pelanggaran etika dosen dalam pencalonan guru besar, saat ini Kemendikbudristek sedang memeriksa laporan dugaan pelanggan integritas seorang dosen di Jawa Timur.
"Saat ini kami terima laporan seperti itu dari Provinsi Jawa Timur. Tetapi kami belum bisa buka, sekarang sedang berlangsung klarifikasi," kata Sofwan.
Dosen tersebut sudah mendapat surat keputusan (SK) sebagai guru besar karena memenuhi syarat administratif. Jika laporan dari warga terbukti adanya pelanggaran integritas, SK guru besar dosen itu dapat ditinjau ulang.
Editor : Arif Ardliyanto