SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Edukasi penggunaan antibiotik rasional menjadi isu penting yang tengah ramai diperbincangkan. Dilansir dari Kementerian Kesehatan Indonesia, telah ditemukan peningkatan resistensi antibiotik pada bakteri jenis Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae.
Kedua bakteri ini dinilai berbahaya karena dapat menyebabkan kematian dan menyerang seluruh sistem organ dalam tubuh manusia.
Menanggapi isu tersebut, Dr. apt. Fauna Herawati, M.Farm-Klin, Dosen Fakultas Farmasi Universitas Surabaya (Ubaya), mengedukasi dan mengajak masyarakat serta tenaga kesehatan untuk menggunakan antibiotik secara rasional.
Fauna menjelaskan bahwa tubuh manusia akan menunjukkan gejala ketika satu jenis bakteri kuat berhasil beradaptasi dan membentuk koloni dalam jumlah banyak.
"Antibiotik bekerja dengan cara mengikat protein reseptor bakteri, seperti kunci dan anak kunci, sehingga perkembangan bakteri terhambat. Namun, perlu diingat, ketika kita mengonsumsi antibiotik tertentu, bakteri bisa bermutasi sehingga strukturnya tidak cocok lagi. Itulah sebabnya, saat kita sakit oleh bakteri yang kuat, antibiotik yang sudah dikonsumsi tidak bisa diberikan lagi," jelasnya.
Fauna menuturkan bahwa penggunaan antibiotik hanya dikhususkan pada pasien yang terserang bakteri, bukan virus. Ia menyayangkan kebiasaan masyarakat yang terburu-buru membeli antibiotik tanpa berkonsultasi dengan dokter, padahal penyakitnya mungkin bukan disebabkan oleh bakteri.
"Penyakit yang disebabkan oleh virus biasanya akan membaik dalam 3-5 hari dengan pengobatan simptomatik, yaitu obat untuk mengurangi keluhan gejala sakit. Jika lebih dari itu, apoteker biasanya akan memberikan rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut ke dokter untuk observasi apakah terinfeksi bakteri atau bukan. Jadi, penggunaan antibiotik itu sudah ada rambu-rambunya," tambahnya.
Kepala Program Studi Magister Ilmu Farmasi Ubaya ini mengungkap bahwa program pengendalian bakteri resisten dan resistensi antibiotik dapat dilakukan melalui kolaborasi dari tenaga kesehatan yang disertai oleh kesadaran penggunaan antibiotik yang rasional. Ia menekankan pentingnya riwayat penggunaan antibiotik di tiga bulan terakhir dan penegakkan diagnosis penyakit infeksi.
"Penting bagi tenaga medis untuk mendiagnosis tingkat keparahan penyakit infeksi dan memilih terapi secara empiris sesuai dengan mikroorganisme penyebab infeksi pada pasien. Informasi tentang penggunaan antibiotik di tiga bulan terakhir dapat membantu mengenali potensi bakteri resisten dan memilih antibiotik yang sensitif sehingga keberhasilan terapi tercapai," jelasnya.
Fauna juga membagikan hasil penelitiannya di tahun 2020 tentang hubungan antara pengetahuan dan keyakinan terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan antibiotik.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa masyarakat sudah mengetahui adanya bakteri kebal antibiotik. Namun, masyarakat tetap mengonsumsi antibiotik secara sembarangan karena persepsi tentang bakteri resisten dapat menyebabkan kematian rendah.
"Pasien yang merasa pusing, demam, atau reaksi inflamasi lainnya seringkali merasa pulih akibat konsumsi antibiotik. Jadi, mereka merasa disembuhkan antibiotik. Padahal, bukan karena antibiotiknya tetapi memang karena sudah waktunya sembuh. Seolah antibiotik yang menyelamatkan," tuturnya.
Jika penggunaan antibiotik terus dilakukan tanpa pengawasan tenaga kesehatan, resistensi antibiotik dikhawatirkan dapat menyebabkan ketersediaan pilihan antibiotik berkurang.
"Yang ditakutkan, penyakit infeksi bakteri tertentu menjadi sulit disembuhkan karena tidak ada antibiotik yang bisa mengatasi," pungkas Fauna.
Editor : Ali Masduki