Integrasi Pengelolaan Haji dan Umroh, Solusi Mengatasi Dualisme Kewenangan

SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Dr. KH. Ahmad Fahrur Rozi, S.Ag., M.Pd.I., Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mengapresiasi langkah pemerintahan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam membentuk Badan Penyelenggara Haji (BP Haji).
Namun, Gus Fahrur, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa langkah ini akan lebih efektif jika disertai kewenangan penuh agar penyelenggaraan haji dapat berjalan lebih efisien, profesional, dan terintegrasi.
“Saat ini, ada pemisahan peran antara regulator dan operator dalam penyelenggaraan haji. Hal ini justru menciptakan dualisme kewenangan dan fragmentasi birokrasi. Satu lembaga menetapkan kebijakan, sementara lembaga lain bertanggung jawab atas implementasinya tanpa fleksibilitas yang memadai,” ujar Gus Fahrur dalam rilisnya kepada wartawan, Selasa (18/2/25).
Menurutnya, sistem trias politica telah mengatur bahwa legislatif berfungsi sebagai regulator, eksekutif sebagai operator, dan yudikatif sebagai pengadil.
Oleh karena itu, tidak boleh ada lembaga negara yang mengatur atau mengawasi lembaga lain secara hierarkis di luar mekanisme checks and balances yang ditetapkan konstitusi.
“Jika ini terus terjadi, pengambilan keputusan akan lambat, menghambat efisiensi layanan, dan pada akhirnya menurunkan kepuasan jamaah. Solusi terbaik adalah membentuk Kementerian atau Badan Haji dan Umroh sebagai satu-satunya entitas yang memiliki kendali penuh atas seluruh aspek penyelenggaraan haji, mulai dari regulasi, operasional, keuangan, hingga layanan kesehatan,” tegas pengasuh Pondok Pesantren An-Nur 1 Bululawang, Malang, Jawa Timur ini.
Gus Fahrur menyarankan agar DPR RI segera merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh.
Menurutnya, UU tersebut sudah tidak fleksibel dalam menghadapi dinamika global, khususnya kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang terus berkembang.
“UU ini perlu direvisi agar lebih adaptif terhadap perubahan kebijakan Arab Saudi serta perkembangan kebutuhan jamaah Indonesia. Saat ini, sistem penyelenggaraan haji masih terfragmentasi. Pengelolaan dana haji oleh BPKH dan layanan kesehatan oleh Kementerian Kesehatan tidak terkoordinasi secara optimal dengan penyelenggara haji utama, yaitu Kementerian Agama,” urainya.
Ia mencontohkan, Arab Saudi kini mewajibkan penggunaan platform digital resmi seperti Nusuk dan e-Hajj, yang mengubah pola pengelolaan haji secara signifikan.
Namun, UU yang ada belum mengakomodasi perubahan ini secara komprehensif, sehingga kerap terjadi kendala dalam implementasi di lapangan, baik dari sisi administrasi, logistik, maupun pelayanan jamaah.
Gus Fahrur menekankan pentingnya mengintegrasikan seluruh fungsi penyelenggaraan haji ke dalam satu lembaga khusus. Dengan demikian, perencanaan, pendanaan, dan implementasi layanan haji dapat berjalan lebih efisien dan berorientasi pada kepentingan jamaah.
“Dengan menyatukan semua aspek ini dalam satu Kementerian atau Badan Haji dan Umroh, seluruh proses penyelenggaraan haji dapat dijalankan lebih terkoordinasi. Kebijakan yang dibuat dapat langsung diimplementasikan tanpa hambatan administratif yang tidak perlu,” jelasnya.
Ia menambahkan, integrasi ini akan memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
“Dengan revisi regulasi yang tepat dan penyatuan pengelolaan haji dalam satu badan khusus, Indonesia dapat meningkatkan kualitas pelayanan haji secara signifikan,” pungkasnya.
Editor : Ali Masduki