Tagar Kabur Aja Dulu, Alarm Keras Generasi Muda untuk Pemerintah

SURABAYA - Belakangan ini, tagar kabur aja dulu viral di media sosial, mencerminkan keresahan mendalam generasi muda Indonesia terhadap berbagai tantangan di dalam negeri. Tagar ini menjadi simbol kekecewaan atas terbatasnya kesempatan dalam hal pekerjaan, pendidikan, dan kesejahteraan.
Banyak anak muda merasa sulit untuk bertahan dan berkembang di Indonesia, sehingga mencari peluang di luar negeri dianggap sebagai solusi.
Menanggapi fenomena ini, Dr. Ido Prijana Hadi, M.Si., dosen Ilmu Komunikasi dan Wakil Dekan Fakultas Humaniora dan Industri Kreatif Universitas Kristen Petra (UK Petra), menyatakan bahwa #KaburAjaDulu bukan sekadar ekspresi protes, melainkan cerminan keresahan kolektif generasi muda.
“Ini lebih dari sekadar tagar. Ada kegelisahan yang mendalam di kalangan anak muda yang merasa terpinggirkan. Mereka melihat peluang semakin sempit, sehingga memilih mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri,” ujarnya.
Dari perspektif Ilmu Komunikasi, Dr. Ido menjelaskan bahwa tagar seperti #KaburAjaDulu dapat dikategorikan sebagai simbol komunikasi atau propaganda. Tagar ini berfungsi untuk menyampaikan ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada.
“Dalam komunikasi massa, ada konsep agenda setting, di mana simbol atau pesan yang disebarkan melalui media sosial dapat memengaruhi opini publik dan bahkan kebijakan pemerintah. Tagar ini adalah bentuk ekspresi sekaligus harapan masyarakat agar pemerintah lebih memperhatikan kondisi mereka,” jelasnya.
Ia menambahkan, media sosial memiliki kekuatan besar dalam mendorong perubahan. Tagar seperti ini bisa menjadi pemicu bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan.
"Sebagai simbol ketidakpuasan, #KaburAjaDulu mengirim pesan bahwa ada masalah serius yang perlu segera diatasi,” ujar Dr. Ido, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) Pusat.
Dr. Ido menilai bahwa kemajuan teknologi turut berperan dalam meluasnya fenomena ini. “Dulu, media sosial tidak sebesar sekarang. Kini, teknologi memungkinkan generasi muda untuk menyuarakan protes mereka secara lebih terbuka dan masif,” ungkapnya.
Tagar #KaburAjaDulu, menurutnya, adalah cerminan dari generasi muda yang merasa terpinggirkan dan mencari tempat yang lebih layak untuk berkembang.
Namun, ia mengingatkan bahwa fenomena ini dapat membawa dampak negatif bagi Indonesia. Jika terlalu banyak generasi muda yang pergi dan tidak kembali, Indonesia berisiko kehilangan potensi terbaiknya.
"Ini adalah tantangan serius yang perlu diantisipasi,” tegas Dr. Ido, yang juga mengkoordinasi pengembangan ASPIKOM di wilayah Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTT, dan NTB.
Menurut Dr. Ido, pemerintah perlu merespons fenomena ini dengan kebijakan yang berpihak pada generasi muda.
“Pemerintah harus memberikan kesempatan yang lebih luas bagi anak muda untuk berkembang di dalam negeri. Kebijakan terkait lapangan kerja, pendidikan, dan kesejahteraan harus lebih jelas dan mudah diakses. Selain itu, transparansi dalam pengelolaan anggaran juga penting untuk membangun kepercayaan publik,” paparnya.
Ia berharap, melalui fenomena #KaburAjaDulu, pemerintah dapat lebih peka terhadap aspirasi generasi muda.
“Anak muda tidak hanya membutuhkan pekerjaan, tetapi juga kesempatan untuk berkembang. Pemerintah harus menciptakan lingkungan yang mendukung agar mereka merasa optimis dan memiliki harapan untuk masa depan di Indonesia,” pungkasnya.
Editor : Ali Masduki