SURABAYA, iNews.id - Harga daging sapi di pasaran melonjak. Di beberapa wilayah bahkan tembus hingga Rp 140.000 per kilogram (kg). Padahal, harga normalnya hanya Rp 120.000 per kilogram.
Menurut Pakar Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Prof Dr Budi Utomo, meroketnya harga daging sapi di Indonesia dipicu oleh faktor kebijakan Australia yang mengurangi ekspor sapi bakalan (sapi hidup) ke Indonesia karena masih dalam pemulihan populasi. Sementara sapi di Indonesia sedang terserang wabah Lumpy Skin Disease (LSD).
“Penyakit itu ditemukan di Provinsi Riau, yang sebelumnya terjadi di negara Asia termasuk Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Myanmar, Laos, dan Kamboja,” papar Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UNAIR.
Guru Besar itu menerangkan tanda klinis Lumpy skin disease bermacam-macam. Di antaranya, lesi kulit, demam, pengurangan nafsu makan hingga kematian pada sapi. Penularannya melalui vektor serangga (nyamuk dan kutu) sehingga sangat rentan menyerang ternak lain.
“Jangan sampai vektor penyakit ini terikut oleh kendaraan pengangkut ternak. Utamanya kapal ternak yang dipakai buat mengangkut ternak dari dan ke Australia,” terangnya.
Di samping itu, ketidakcukupan daging sapi juga karena kurangnya pengetahuan peternak dan inseminator. Pasalnya ketersediaan indukan sapi masih banyak. Akan tetapi inseminasi buatan atau kawin suntik juga harus digencarkan untuk memperbanyak anakan.
Dalam hal ini, komitmen pemerintah dalam mendongkrak populasi sapi di Indonesia melalui Program Upaya Khusus Sapi Induk Wajib bunting (UPSUS SIWAB).
Namun, Prof Budi menilai program itu belum berjalan dengan lancar. Didapati masih banyak yang mengalami gangguan reproduksi.
Editor : Ali Masduki