get app
inews
Aa Text
Read Next : Khofifah–Kajati Jatim Teken MoU Penerapan Pidana Kerja Sosial

Skandal Korupsi DPRD di Jatim Kian Mengkhawatirkan, Pengamat: Ini Masalah Sistemik!

Kamis, 10 Juli 2025 | 07:43 WIB
header img
Singgih Manggalou, pengamat politik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur. Foto iNewsSurabaya/ist

SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Korupsi kembali mencoreng citra lembaga legislatif di Jawa Timur. Dari Surabaya, Malang, hingga DPRD tingkat provinsi, pola penyalahgunaan dana publik seperti hibah, pokok-pokok pikiran (pokir), dan Jasmas terus berulang mengindikasikan masalah yang lebih dalam dari sekadar ulah segelintir oknum.

Singgih Manggalou, pengamat politik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, menyebut fenomena ini sebagai cerminan persoalan sistemik dalam pengelolaan anggaran publik di tubuh DPRD.

“Banyak kasus besar yang hanya menjerat anggota legislatif tanpa menyeret pejabat eksekutif. Artinya, korupsi bisa tumbuh subur di DPRD tanpa campur tangan kepala daerah,” tegas Singgih, Kamis (10/7/2025).

Menurutnya, kuasa anggaran yang besar terutama melalui skema hibah dan pokir membuka celah korupsi yang serius. Apalagi jika pengawasan internal DPRD dan tekanan publik masih lemah.

Singgih mengungkapkan, penyimpangan paling sering terjadi saat legislator 'menitipkan' proyek dalam anggaran dengan mark up atau memakai yayasan fiktif sebagai penerima hibah. Motifnya jelas: mengembalikan modal politik setelah pemilu legislatif.

“Biaya pileg itu mahal. Maka banyak caleg yang begitu terpilih langsung berpikir bagaimana caranya balik modal. Pokir jadi ladang empuk,” ujarnya.

Ia pun mendorong pemerintah dan pemangku kebijakan untuk meninjau ulang sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini berlaku. Menurutnya, sistem ini justru memperparah praktik transaksional karena mendorong kompetisi dalam satu partai.

“Sistem proporsional tertutup bisa menekan biaya politik. Kalau tidak, kita akan terus melahirkan wakil rakyat yang sibuk cari untung pribadi,” jelas Singgih.

Kekhawatiran Singgih bukan tanpa dasar. Kasus terbaru yang menyeret empat anggota DPRD Jatim menunjukkan bahwa pola lama belum juga berubah. Keempatnya diduga menerima suap demi meloloskan dana hibah Pokmas lewat pokir.

Sebelumnya, mantan Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak, divonis sembilan tahun penjara karena kasus serupa. Nama mantan Ketua DPRD, Kusnadi, juga muncul dalam pusaran kasus, meski saat ini masih berstatus saksi.

Di Surabaya, tiga mantan anggota dewan—Darmawan, Dini Rijanti, dan Syaiful Aidy dijatuhi vonis atas korupsi Jasmas senilai Rp5 miliar. Mereka divonis antara 1,5 hingga 2,5 tahun penjara oleh pengadilan pada 2020.

Sementara itu, kasus megakorupsi di Kota Malang pada 2018 menjadi sejarah kelam legislatif daerah. Sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD terjerat kasus suap pembahasan APBD-P 2015. Meski Wali Kota Moch Anton ikut dijerat, sebagian besar eksekutif terbukti tidak terlibat.

“Perlu dipahami, tidak semua kasus menyeret eksekutif. Investigasi harus fokus pada bukti, bukan asumsi,” tegas Singgih.

Menutup pernyataannya, Singgih menyerukan pembenahan internal di DPRD dan sistem anggaran publik yang lebih transparan dan akuntabel. Ia menekankan, tuntutan publik terhadap integritas semakin tinggi.

“Kalau DPRD tidak segera berubah, mereka akan terus jadi sumber masalah, bukan solusi. Legislatif seharusnya jadi benteng demokrasi, bukan ladang korupsi,” pungkasnya.

 

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut