Kisah Serafi Anelies Unani, Sprinter Papua yang Bangkitkan Semangat Pemuda di Surabaya
SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Semangat juang seorang atlet sejati tidak berhenti di garis finish. Hal itu tercermin dalam kisah Serafi Anelies Unani, mantan sprinter nasional asal Papua yang kini menyalakan api motivasi bagi generasi muda. Dalam talkshow budaya bertema "Malam Pentas Seni dan Budaya Papua" di kawasan Kya-kya Surabaya, Minggu (27/7/2025), Serafi membagikan kisah hidupnya yang penuh peluh dan perjuangan, dari lintasan SEA Games hingga perannya sebagai pelatih di Timika.
Di hadapan ratusan peserta dari berbagai komunitas lintas daerah, Serafi menekankan pentingnya kesiapan mental, kedisiplinan, dan konsistensi sebagai bekal menaklukkan tantangan hidup, terutama bagi pemuda-pemudi Papua yang menempuh pendidikan di luar daerah.
“Kalau kalian memilih merantau untuk studi, seperti ke Surabaya, pertanyaan pertama adalah: ‘Apakah mental saya siap?’ Karena culture shock itu nyata. Kita harus belajar menjadi anak muda yang bisa beradaptasi,” ujar Serafi, tegas namun penuh empati.
Nama Serafi melejit setelah mencatat sejarah sebagai peraih medali emas nomor 100 meter putri di SEA Games 2011. Namun, di balik gemerlap prestasi itu, tersimpan cerita tentang kerja keras tanpa kompromi.
“Bangun jam 4 pagi, jam 5 sudah lari di lapangan. Jam 7 latihan selesai, jam 8 saya harus masuk sekolah. Lelah itu pasti, tapi target harian yang membuat saya terus bertahan,” tuturnya mengenang masa-masa sebagai atlet nasional.
Kini, Serafi mengabdikan diri sebagai pelatih di Pelanas Papua Atletik Center, Timika, tempat ia menempa para atlet muda berbakat. Salah satu muridnya, Lina Hisage, bahkan memecahkan rekor nasional tolak peluru U-18 hanya dalam 6 bulan latihan.
“Setiap orang punya potensi. Tugas kita adalah menemukan dan mengasahnya. Saya ingin membuktikan bahwa Papua bisa bersaing dan berprestasi,” ujarnya penuh semangat.
Dalam talkshow itu, Serafi juga menegaskan pentingnya belajar dari pengalaman, termasuk dari kegagalan. Menurutnya, pengalaman adalah guru terbaik, dan dari situ seseorang bisa tumbuh lebih kuat.
“Kalau pengalaman buruk, jadikan pelajaran. Jangan ulangi kesalahan yang sama. Dan yang paling penting, jangan malu jadi orang Papua. Kita ini unik, dan kita punya peran dalam membangun bangsa,” pungkasnya.
Panggung Seni dan Ajang Perekat Persaudaraan
Talkshow ini menjadi bagian dari pentas seni budaya Papua yang digelar oleh Perkumpulan Alumni Papua di Surabaya. Ketua Pelaksana, Freek Christiaan, mengatakan bahwa kegiatan ini bukan sekadar pertunjukan budaya, tetapi juga sarana memperkuat persaudaraan lintas daerah.
“Kami ingin memperkenalkan budaya tari Papua kepada masyarakat Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Acara ini juga jadi ruang bertemu bagi keluarga besar dari berbagai daerah,” jelas Freek.
Sekitar 200 peserta menghadiri acara ini, termasuk komunitas seperti Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), Komite Perekat Persaudaraan Maluku, dan Indonesia Bersatu ITB. Freek mengapresiasi dukungan Pemerintah Kota Surabaya dan Dispora yang memberikan izin penggunaan area Kyakya secara gratis.
“Ini bukan hanya reuni. Ini adalah upaya mempererat rasa kebersamaan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika,” tambah Freek, yang juga menjabat sebagai Bendahara Perkumpulan Alumni Papua Surabaya.
Editor : Arif Ardliyanto