get app
inews
Aa Text
Read Next : Tuntut Keterlibatan Mitra Dalam Pembuatan Perpres Transportasi Online, Ini yang Dilakukan Ojol

Motif Janji Palsu PNS, Kasus Pembunuhan Ojol Perempuan di Gresik Bongkar Sisi Gelap Relasi

Kamis, 31 Juli 2025 | 11:27 WIB
header img
Kriminolog Universitas Muhammadiyah Surabaya, Samsul Arifin, S.H., M.H., mengkaji kasus pembunuhan ojol perempuan di Gresik. Foto iNewsSurabaya/ist

GRESIK, iNewsSurabaya.id — Kasus pembunuhan tragis yang menimpa seorang pengemudi ojek online (ojol) perempuan di Gresik masih menjadi perhatian publik luas. Tragedi ini bukan hanya soal kekerasan, melainkan menyimpan kisah rumit di balik janji palsu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berujung maut.

Menurut Kriminolog Universitas Muhammadiyah Surabaya, Samsul Arifin, S.H., M.H., kasus ini mencerminkan percampuran antara tekanan psikologis, konflik emosional, dan manipulasi sosial. Ia menyebut, penipuan semacam itu bukan sekadar tindak pidana, tapi juga bentuk pelanggaran sosial yang berdampak dalam jangka panjang.

“Dalam perspektif kriminologi, janji palsu masuk PNS adalah bentuk penipuan emosional. Saat pelaku merasa terjebak dan frustrasi, terutama dalam situasi ekonomi sulit dan istri yang sedang hamil, potensi agresi menjadi lebih besar. Ini sesuai dengan teori frustrasi-agresi,” jelas Samsul.

Pelaku dan korban diketahui memiliki hubungan yang sudah terjalin sejak 2021. Kepercayaan yang dibangun selama bertahun-tahun akhirnya dikhianati oleh pelaku, yang ternyata adalah residivis kasus pembunuhan.

“Pola penyelesaian konflik yang dipilih pelaku sangat maladaptif. Ia menggunakan alat pemotong kertas sebagai senjata dadakan dalam ruang kerja tertutup. Ini tindakan yang oportunistik sekaligus sangat keji,” ujarnya.

Jenazah korban pun dibungkus dan dibuang ke lokasi tersembunyi — menunjukkan adanya upaya sadar untuk menghilangkan jejak dan mengaburkan jejak hukum.

Secara hukum, tindakan pelaku mengarah pada unsur pembunuhan berencana, sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP, dengan ancaman pidana mati, penjara seumur hidup, atau kurungan maksimal 20 tahun.

“Pelaku mengundang korban ke lokasi kejadian dengan alasan pekerjaan lepas, padahal ada niat menghabisi nyawa. Ia menyiapkan tempat, alat, dan tindakan pasca-kejadian seperti membungkus serta membuang jenazah. Semua ini menunjukkan perencanaan matang,” terang Samsul.

Ia juga menegaskan, dalam praktik hukum, “perencanaan” tidak harus berlangsung berhari-hari. Selama pelaku memiliki waktu untuk mempertimbangkan dan menyadari tindakannya, maka unsur perencanaan sudah terpenuhi.

Dalam pendekatan viktimologi, Samsul menerapkan teori presipitasi viktimisasi untuk membaca lebih dalam dinamika interpersonal antara pelaku dan korban.

“Motif seperti sakit hati dan piutang bisa menjadi pemicu kuat konflik pribadi. Dalam kasus ini, korban sempat menjanjikan pekerjaan sebagai PNS kepada pelaku, namun kemudian menghindar selama lebih dari satu tahun. Dalam tekanan ekonomi dan emosional, pelaku akhirnya meledak,” paparnya.

Namun, Samsul menegaskan bahwa analisis ini tidak bermaksud menyalahkan korban. Pendekatan viktimologi lebih bertujuan memahami bagaimana relasi pribadi, tekanan sosial, dan respons emosional bisa berkembang menjadi tindak kriminal.

Kasus ini masih ditangani pihak kepolisian dan dalam proses pendalaman lebih lanjut. Masyarakat diimbau untuk lebih waspada terhadap tawaran-tawaran pekerjaan yang tidak realistis, terutama yang menjanjikan status PNS tanpa proses yang sah.

“Penipuan semacam ini harus dilaporkan ke pihak berwenang sejak awal, agar tidak berkembang menjadi tragedi yang bisa merenggut nyawa,” tutup Samsul.

 

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut