Kisruh Royalti Musik Bikin Resah Pengusaha Hiburan, LMKN Didesak Transparan dan Diaudit!
SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Polemik soal royalti musik kembali mencuat dan menimbulkan kegelisahan di kalangan pelaku usaha hiburan, mulai dari pengelola kafe, restoran, hingga warung kopi (warkop). Sejumlah pengusaha menilai penerapan sistem royalti saat ini tidak transparan dan cenderung merugikan mereka sebagai pengguna karya musik di tempat usaha.
Ketua Himpunan Pengusaha Hiburan dan Rekreasi Umum (Hiperhu) Surabaya, George Hadiwiyanto, angkat bicara terkait keresahan ini. Menurutnya, meski royalti adalah bentuk penghargaan yang sah untuk para pencipta lagu, sistem yang ada saat ini masih jauh dari harapan.
“Kami sepakat bahwa pencipta lagu wajib mendapat haknya. Tapi kenyataannya, banyak musisi hanya menerima royalti dalam jumlah kecil, sementara tagihan ke pelaku usaha sangat besar dan tak jelas dasar perhitungannya,” ujar George.
Salah satu sorotan tajam datang pada kurangnya transparansi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam pengelolaan dana royalti. George menegaskan, perlu audit menyeluruh terhadap dana yang dikumpulkan dari pelaku usaha, termasuk berapa yang benar-benar disalurkan kepada pencipta lagu.
“Ini dana masyarakat yang dipungut. Maka harus ada laporan terbuka, berapa dana masuk, berapa disalurkan, dan ke siapa saja,” tegasnya.
George juga menyoroti perlunya penggunaan teknologi digital dalam penerapan sistem royalti. Menurutnya, saat ini sudah saatnya Indonesia memiliki sistem monitoring digital untuk mendeteksi lagu-lagu yang diputar di tempat umum, sehingga perhitungan royalti bisa lebih akurat dan adil.
“Sebuah kafe atau tempat hiburan harusnya terhubung ke sistem pusat yang bisa menghitung jumlah lagu yang diputar. Di era digital, itu sangat memungkinkan. Bahkan data itu bisa diakses publik,” tambahnya.
Salah satu keluhan paling umum dari pelaku usaha adalah cara perhitungan royalti yang dianggap janggal. Dalam beberapa kasus, royalti dihitung berdasarkan luas tempat dan jumlah kursi, bukan berdasarkan jumlah atau jenis lagu yang diputar.
“Kalau di luar negeri, royalti untuk konser dihitung dari jumlah lagu yang dibawakan dan dikaitkan dengan pendapatan tiket. Bukan luas stadion atau jumlah kursi,” kata George memberi perbandingan.
George juga menyarankan agar revisi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta melibatkan pelaku usaha, agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan satu pihak.
“Kita butuh aturan yang adil untuk semua. Termasuk pelaku usaha juga harus dilibatkan saat merumuskan kebijakan. Jangan hanya sepihak,” pungkasnya.
Kisruh royalti musik di Indonesia menjadi cermin bahwa sistem saat ini masih perlu banyak pembenahan. Pengusaha hiburan tidak menolak membayar royalti, tapi mereka berharap sistem yang diterapkan lebih transparan, adil, dan berbasis teknologi.
Editor : Arif Ardliyanto