Kontroversi Program TV Swasta Lecehkan Pesantren, LPBH PCNU Surabaya Kaji Langkah Hukum
SURABAYA, iNewsSurabaya.id -Program televisi "Xpose Uncensored" yang tayang di Trans7 tengah menjadi sorotan publik, khususnya di kalangan pondok pesantren. Tayangan tersebut dinilai telah melecehkan nilai-nilai pesantren dan para kiai, memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya.
Ketua PCNU Kota Surabaya, Masduki Toha telah meminta Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PCNU Kota Surabaya untuk mengkaji kelemahan hukum tayangan tersebut. Menurutnya, tayangan televisi yang beredar luas sangat menyakiti santri.
"Saya sudah meminta LPBH untuk melakukan tindakan dan mengkaji kasus hukumnya. Ini sudah tidak bener," katanya.
Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PCNU Kota Surabaya, Oktavianto Prasongko, SH, M.H., M.Kn., menyampaikan bahwa pihaknya tengah mengkaji kemungkinan untuk menempuh jalur hukum. Ia menilai, permintaan maaf yang sudah beredar di publik tidak serta-merta menghapus persoalan hukum yang muncul akibat tayangan tersebut.
“Bagi santri, memaafkan itu mudah. Tapi pelanggaran hukum harus tetap diselesaikan. Ini bukan sekadar etika, tapi soal tanggung jawab hukum,” tegas Oktavianto di Surabaya, Kamis (16/10/2025).
Menurutnya, dalam proses penayangan program televisi, tanggung jawab tidak hanya berada di tangan rumah produksi (PH). Ia menekankan adanya keterlibatan pihak redaksi dan manajemen stasiun televisi yang juga wajib dimintai pertanggungjawaban.
“Sebuah tayangan melewati banyak tahap. Produksi, kurasi, hingga keputusan tayang. Artinya, ada banyak pihak yang seharusnya mengawal agar konten tidak menyakiti nilai-nilai luhur masyarakat,” ujarnya.
Dari tingkat pusat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Ketua Umumnya, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), turut menyampaikan keberatannya. Bahkan, PBNU telah menginstruksikan LPBH PBNU untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas konten tersebut.
Dalam upaya meredakan ketegangan, dikabarkan pihak Trans7 telah mendatangi Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri untuk menyampaikan permintaan maaf secara langsung. Namun bagi sebagian kalangan pesantren, permintaan maaf saja dianggap belum cukup.
Pesantren bukan hanya institusi pendidikan, tapi juga simbol peradaban dan moral masyarakat. Terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pesantren masih menjadi benteng nilai-nilai Islam Nusantara. Maka wajar jika tayangan yang dianggap melecehkan pesantren menimbulkan kemarahan.
“Ketika lembaga seperti pesantren dijadikan bahan candaan di ruang publik, itu bukan cuma soal media, tapi soal empati sosial. Dan itulah yang kami nilai hilang dari tayangan ini,” kata seorang pengasuh pesantren di Surabaya yang enggan disebut namanya.
Secara normatif, produk jurnalistik memang dilindungi oleh hukum, termasuk Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 tentang kebebasan berekspresi serta UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, perlindungan tersebut bukan tanpa batas.
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran secara tegas melarang isi siaran yang merendahkan martabat manusia, melecehkan nilai agama, atau menyinggung kelompok sosial tertentu. Begitu pula dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dari KPI, yang menekankan pentingnya menghormati keberagaman budaya dan keyakinan di masyarakat.
Para ahli hukum menilai, setiap kasus harus dilihat dalam konteks nilai sosial-budaya masyarakat Indonesia. Penegakan hukum tidak hanya berbasis pada teks aturan, tetapi juga harus mempertimbangkan sensitivitas publik, terutama dalam isu keagamaan.
“Hukum tidak hidup di ruang hampa. Kita perlu memahami konteks pesantren, budaya santri, dan sensitivitas umat,” pungkas Oktavianto.
Kontroversi ini bisa menjadi titik tolak bagi industri penyiaran untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai lokal. Kebebasan berekspresi harus diiringi dengan tanggung jawab sosial, agar media tetap menjadi bagian dari solusi, bukan sumber perpecahan.
Editor : Arif Ardliyanto