Fenomena Umrah Mandiri, Efisiensi atau Ilusi Kemandirian di Era Digital?
SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Beberapa tahun terakhir, umrah mandiri mulai jadi tren baru di masyarakat Indonesia. Dengan akses digital yang semakin luas dan promosi tiket murah yang menggoda, banyak calon jamaah memilih mengatur sendiri perjalanan ibadahnya tanpa bantuan biro resmi.
Sekilas, pilihan ini tampak modern, efisien, dan sesuai semangat kemandirian. Tapi di balik itu, tersimpan pertanyaan besar: apakah efisiensi tanpa tata kelola benar-benar membawa ketenangan, atau justru menciptakan risiko baru yang mahal harganya?
Sebagai seseorang yang sehari-hari berkecimpung dalam urusan tata kelola dan keuangan di perguruan tinggi, saya melihat fenomena ini sangat mirip dengan pengelolaan organisasi modern. Dalam dunia manajemen, efisiensi bukan hanya soal memangkas biaya, melainkan soal bagaimana sistem berjalan dengan tertib, transparan, dan memiliki pengawasan berlapis.
Di kampus, setiap langkah penghematan anggaran selalu diikuti analisis risiko, mekanisme pengawasan, dan tanggung jawab yang jelas. Tanpa itu, efisiensi justru bisa menjadi sumber kekacauan baru. Prinsip yang sama seharusnya juga berlaku saat masyarakat mengambil keputusan penting, termasuk soal perjalanan ibadah.
Murah Belum Tentu Efisien, Efisien Belum Tentu Aman
Harga tiket murah sering kali jadi magnet utama. Namun, efisiensi sejati tidak hanya diukur dari penghematan biaya. Ia juga menyangkut keseimbangan antara biaya, manfaat, dan keamanan.
Banyak jamaah umrah mandiri yang berhasil berangkat dengan biaya hemat, tapi tak sedikit pula yang justru tertahan di bandara, kehilangan uang, atau mendapat pelayanan tak sesuai harapan karena lemahnya perlindungan hukum dan manajemen risiko.
Efisiensi yang tidak disertai perencanaan dan pengawasan sama berbahayanya dengan pemborosan. Dalam tata kelola, pengawasan adalah kunci yang memastikan segala keputusan tetap dalam jalur aman. Murah tanpa sistem bisa berujung mahal, sedangkan sistem tanpa efisiensi kehilangan makna.
Kemandirian dalam mengatur perjalanan ibadah tentu layak diapresiasi. Ini bukti bahwa masyarakat semakin percaya diri dan adaptif terhadap teknologi. Tapi, seperti halnya di kampus, otonomi tetap harus berjalan dalam koridor yang jelas.
Negara melalui regulasi penyelenggaraan umrah punya peran penting menjaga agar semangat kemandirian tak berubah menjadi ruang abu-abu yang rawan disalahgunakan.
Masyarakat perlu memahami bahwa di era digital, kemandirian bukan hanya soal bisa mengatur segalanya sendiri, tapi juga soal mampu mengelola risiko. Mulai dari memastikan legalitas penyedia jasa, memahami kontrak, hingga memverifikasi kredibilitas pihak yang terlibat.
Dalam setiap keputusan keuangan di lingkungan kampus, prinsip utama yang dijaga bukan hanya seberapa cepat atau hemat prosesnya, melainkan seberapa besar manfaat dan kejelasan tanggung jawab yang dihasilkan.
Nilai yang sama seharusnya juga menjadi pijakan masyarakat dalam setiap keputusan sosial, ekonomi, maupun keagamaan.
Tren umrah mandiri sejatinya adalah cermin dari perubahan pola pikir masyarakat modern: ingin mandiri, cepat, dan efisien. Namun, efisiensi tanpa tata kelola hanya menghasilkan ilusi kepraktisan. Sementara tata kelola tanpa efisiensi akan kehilangan daya gerak.
Keduanya harus berjalan beriringan agar kemandirian tidak berubah menjadi kerentanan, dan efisiensi benar-benar bermakna.
Penulis:
Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA, Wakil Rektor II Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto