Dokter Kerja 16 Jam Sehari: Risiko Fatal bagi Keselamatan Pasien
SIDOARJO, iNewsSurabaya.id - Pukul 20.00 WIB, dr. Michael A. P. Lusida, Sp.PD masih menangani antrian pasien BPJS di poliklinik reguler salah satu rumah sakit di Sidoarjo. Padahal, jadwal praktiknya seharusnya berakhir pukul 19.00. Empat jam sebelumnya, dokter spesialis penyakit dalam itu sudah memulai shift di poliklinik eksekutif.
Belum termasuk tanggung jawab konsultasi pasien rawat inap, visite, dan koordinasi dengan dokter spesialis lain. Total jam kerja yang dihabiskan Lebih dari 12 jam dan ini bukan hari yang luar biasa sibuk. Ini hari kerja biasa.
Timothy Calvin Yang mahasiswa Fakultas Kedokteran Unair yang mengobservasi praktik dr. Michael, menemukan ironi mendasar, dokter yang bertugas menjaga kesehatan masyarakat justru bekerja dalam kondisi yang mengancam kesehatan mereka sendiri dan pada akhirnya, keselamatan pasien.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 81 Tahun 2004 menetapkan standar jam kerja tenaga kesehatan berdasarkan "waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan kegiatan pokok." Definisi yang sangat elastis ini memberikan keleluasaan berlebihan bagi rumah sakit untuk menentukan jam kerja tanpa batas maksimal yang tegas.
Akibatnya, dokter bekerja 12-16 jam sehari bahkan lebih menjadi hal yang normal, bukan pengecualian.
Dampak jam kerja panjang bagi dokter sudah terbukti berbahaya melalui berbagai penelitian internasional.
Studi Christopher P. Landrigan dan tim dari Harvard Medical School yang dipublikasikan dalam The New England Journal of Medicine (2004) menemukan fakta mengejutkan, dokter residen yang bekerja dalam shift panjang membuat 36% lebih banyak kesalahan medis serius dibandingkan mereka yang bekerja dalam shift lebih pendek.
Penelitian Steven W. Lockley dan rekan (2004) dalam jurnal yang sama menunjukkan dokter residen pada shift 16 jam mengalami dua kali lipat lebih banyak kegagalan fokus pada malam hari.
Lebih mengkhawatirkan lagi, peningkatan kelelahan dikaitkan dengan lonjakan signifikan pada kasus kesalahan medis yang berujung kematian pasien. Dokter yang kelelahan juga menghadapi risiko tinggi kecelakaan lalu lintas saat pulang kerja.
Ironisnya, profesi yang mengajarkan pentingnya istirahat kepada pasien justru tidak mampu mempraktikkan prinsip dasar kesehatan pada diri mereka sendiri.
Saat dr. Michael memeriksa pasien, prosesnya tampak sederhana, seperti anamnesis (wawancara medis), pemeriksaan fisik, lalu diagnosis. Namun, di balik interaksi 15-20 menit itu, terjadi proses eliminasi diagnosis diferensial yang sangat kompleks.
Setiap keluhan pasien, demam berkepanjangan, nyeri perut, sesak napas memicu rangkaian pertanyaan klinis dalam benak dokter, Apakah ini infeksi bakteri atau virus? Adakah keterlibatan organ lain? Apakah pasien memiliki riwayat penyakit autoimun?
Proses ini berlangsung simultan sambil dokter tetap menjaga komunikasi empatik dengan pasien, memeriksa rekam medis elektronik, dan mempertimbangkan keterbatasan fasilitas diagnostik yang tersedia.
Beban kognitif ini tidak berhenti saat shift selesai. Dokter membawa pulang kekhawatiran tentang pasien kritis, keputusan klinis yang telah diambil, dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi tengah malam.
Meski bekerja dalam tekanan tinggi, dr. Michael dan staf rumah sakit tetap menjunjung standar 5S1R: Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun, Rapi.
Ketika bertemu pasien, baik yang membayar mandiri maupun peserta BPJS, dr. Michael selalu menyapa dengan hangat dan mengingat riwayat pasien sebelumnya. Detail seperti ini tampak sepele, namun mencerminkan profesionalisme yang dipertahankan di tengah kelelahan fisik dan mental.
Timothy mencatat bahwa konsistensi etika ini justru menambah beban. Dokter tidak hanya dituntut mendiagnosis dengan akurat, tetapi juga menjadi komunikator yang baik, pengambil keputusan yang cepat, dan penyedia empati yang tidak pernah habis bahkan di jam ke-12 shift mereka.
Realitas brutal jam kerja panjang ini dibangun di atas fondasi pendidikan yang tidak kalah berat. Untuk menjadi dokter spesialis penyakit dalam seperti dr. Michael, seseorang harus menempuh:
Total 11-12 tahun pendidikan intensif sebelum bisa praktik mandiri sebagai spesialis.
Investasi waktu, tenaga, dan biaya yang masif ini seharusnya diiringi dengan sistem kerja yang melindungi kesejahteraan dokter dan pada akhirnya, keselamatan pasien. Namun, realitasnya justru bertolak belakang.
Pengalaman observasi Timothy bukan sekadar catatan akademis. Ini adalah peringatan bahwa sistem kesehatan Indonesia beroperasi di atas fondasi yang rapuh. Dokter yang kelebihan beban kerja (overworked), kurang terlindungi (underprotected), dan berisiko tinggi melakukan kesalahan medis.
Beberapa negara telah membatasi jam kerja dokter residen maksimal 80 jam per minggu dengan shift tidak boleh melebihi 24 jam berturut-turut, seperti di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang mengikuti European Working Time Directive.
Indonesia membutuhkan regulasi serupa, bukan hanya untuk kesejahteraan dokter, tetapi lebih penting lagi untuk keselamatan pasien.
Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu melakukan reformasi ini, tetapi berapa nyawa pasien lagi yang harus menjadi harga dari keterlambatan kita mengambil tindakan?
Penulis
Timothy Calvin Yang ( Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unair )
Editor : Arif Ardliyanto