Society 5.0 dan Realita Digital yang Belum Sepenuhnya Kita Kuasai
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Konsep Society 5.0 sering terdengar seperti gambaran masa depan yang cemerlang masyarakat yang memadukan dunia fisik dan digital untuk menciptakan kehidupan yang lebih efisien, manusiawi, dan penuh peluang. Di atas kertas, semuanya tampak ideal. AI, big data, dan Internet of Things digadang-gadang mampu menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Namun ketika kita melihat kondisi riil Indonesia, optimisme itu perlu kita baca ulang. Hijrah menuju masyarakat super-digital ternyata tidak sesederhana mengganti teknologi lama dengan yang baru. Ada jurang besar antara ide futuristik dan kenyataan di lapangan.
Di beberapa kota besar, kemudahan digitalisasi mungkin sudah terasa—mulai dari layanan publik, akses pendidikan daring, hingga peluang ekonomi baru. Tetapi di banyak daerah pinggiran, internet stabil saja masih menjadi barang mahal.
Literasi digital masyarakat juga tidak merata. Hasilnya? Inovasi yang seharusnya membuka lebar pintu kemajuan justru hanya dirasakan oleh sebagian kecil kelompok.
Kasus kebocoran data, keributan soal keamanan digital, hingga perdebatan penggunaan AI di lembaga pemerintahan memperlihatkan bahwa teknologi tidak selalu hadir sebagai solusi. Kadang, ia malah menambah daftar kekhawatiran baru.
Salah satu tantangan terbesar dalam perjalanan menuju Society 5.0 adalah isu fairness. Tanpa disadari, algoritma bekerja berdasarkan data yang tidak selalu netral. Bias, ketidakadilan, dan kecenderungan diskriminatif bisa muncul.
Jika tidak diawasi, teknologi justru memperbesar ketimpangan, mereka yang melek digital melesat, sementara yang tertinggal makin sulit mengejar.
Dalam konteks Indonesia, ini bukan sekadar masalah teknis. Ini isu moral.
Apakah Society 5.0 Menjadi Jawaban dari Krisis Global?
Tidak ada jawaban instan. Teknologi memang menawarkan solusi, tapi tetap membutuhkan kebijakan yang inklusif dan pengawasan yang ketat.
AI dan otomasi dapat meningkatkan produktivitas, tetapi sekaligus menghapus banyak pekerjaan tradisional. Infrastruktur digital yang timpang membuat akses ke layanan dasar tetap tidak seimbang. Bahkan jejak karbon dari perkembangan teknologi perlu diperhitungkan.
Kadang, Society 5.0 terasa seperti sebuah reality show: kita terpana oleh visual kemajuan, tapi di belakang layar ada kelompok masyarakat yang masih berjuang dengan masalah dasar—akses internet, literasi teknologi, dan keamanan data.
Di tengah ketidakpastian ini, kampus harus tampil sebagai benteng literasi digital. Bukan hanya mencetak teknolog yang andal, tetapi juga generasi yang peka terhadap etika, privasi data, dan dampak sosial dari inovasi digital.
Mahasiswa harus dibiasakan berpikir kritis:
– Apakah teknologi ini adil?
– Siapa yang diuntungkan?
– Siapa yang tertinggal?
Masyarakat sipil pun tidak boleh diam. Narasi teknologi tidak boleh dimonopoli korporasi atau institusi besar. Digitalisasi harus menjadi ruang bersama untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Kita boleh optimis, tetapi tidak boleh lengah. Society 5.0 seharusnya menjadi panduan untuk menciptakan masyarakat digital yang inklusif, etis, dan tidak meninggalkan siapa pun.
Tanpa kesadaran kolektif, konsep futuristik itu hanya akan menjadi slogan. Sebuah ilusi kemajuan yang tidak benar-benar terasa manfaatnya oleh mereka yang paling membutuhkan.
Masa depan digital Indonesia bukan ditentukan oleh teknologi semata, tetapi oleh cara kita memandang dan mengelolanya. Dan di sinilah perguruan tinggi, masyarakat, dan pemerintah harus berjalan bersama—agar teknologi benar-benar menjadi alat pemberdayaan, bukan hanya simbol kemodernan.
Penulis :
Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA, Wakil Rektor II Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto