Ketika Bedah Buku Reset Indonesia Dibubarkan, Ada Apa dengan Ruang Demokrasi Kita?
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Pembubaran acara bedah buku Reset Indonesia di Pasar Pundensari, Madiun, Jawa Timur, Minggu (21/12), bukan sekadar kabar singkat di linimasa berita. Ia adalah potret kecil dari kegelisahan yang lebih besar: hubungan negara dengan warganya yang kian rapuh ketika berhadapan dengan kritik.
Buku Reset Indonesia sendiri bukan pamflet agitasi. Ia lahir dari perjalanan panjang para jurnalis lintas generasi—Farid Ghaban, Dhandy Laksono, Yusuf Priambodo, dan Benaya Harobu—menyusuri sudut-sudut Indonesia yang jarang masuk narasi utama pembangunan. Dari krisis air bersih di Labuan Bajo, konflik agraria, hingga nasib warga lokal yang terpinggirkan, buku ini menawarkan cerita dari pinggiran yang kerap dilupakan.
Namun justru di ruang diskusi yang mestinya aman dan terbuka itulah aparat hadir, menghentikan acara, dan menolak kehadiran salah satu penulisnya. Alasan yang digunakan terdengar klasik: persoalan izin. Sebuah alasan administratif yang sering kali menjadi pintu masuk pembatasan ruang bicara.
Di titik ini, publik layak bertanya: mengapa diskusi buku harus dicurigai?
Kritik yang Kian Dipersepsikan Sebagai Ancaman
Ada perubahan yang terasa jelas dalam cara negara memandang kritik. Dulu, kritik dipahami sebagai bagian dari denyut demokrasi—sesuatu yang wajar, bahkan dibutuhkan. Kini, kritik sering kali diperlakukan sebagai gangguan stabilitas. Diskusi intelektual dianggap berpotensi memicu keresahan, bukan sebagai ruang mencari solusi.
Pembubaran bedah buku Reset Indonesia menjadi sinyal bagaimana ruang publik perlahan menyempit. Padahal, diskusi semacam ini adalah ruang belajar bersama: membaca realitas, menguji argumen, dan merumuskan harapan. Ketika ruang itu ditutup, yang terancam bukan hanya satu acara atau satu buku, melainkan kebiasaan berdialog itu sendiri.
Di sinilah kegelisahan itu muncul. Negara seolah tidak lagi percaya pada kemampuan warganya untuk berpikir kritis secara dewasa. Kritik dibaca sebagai oposisi, perbedaan pendapat dianggap pembangkangan. Akibatnya, dialog digantikan oleh pengawasan.
Editor : Arif Ardliyanto