get app
inews
Aa Text
Read Next : Cuaca Ekstrem Hambat Suplai BBM di Labuan Bajo, Pertamina Kerahkan Armada Tambahan

Ketika Bedah Buku Reset Indonesia Dibubarkan, Ada Apa dengan Ruang Demokrasi Kita?

Jum'at, 26 Desember 2025 | 11:06 WIB
header img
Laili Bariroh, Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Sosial Universitas Airlangga Surabaya juga Staf Pengajar FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya. Foto Surabaya.iNews.id/ist

SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Pembubaran acara bedah buku Reset Indonesia di Pasar Pundensari, Madiun, Jawa Timur, Minggu (21/12), bukan sekadar kabar singkat di linimasa berita. Ia adalah potret kecil dari kegelisahan yang lebih besar: hubungan negara dengan warganya yang kian rapuh ketika berhadapan dengan kritik.

Buku Reset Indonesia sendiri bukan pamflet agitasi. Ia lahir dari perjalanan panjang para jurnalis lintas generasi—Farid Ghaban, Dhandy Laksono, Yusuf Priambodo, dan Benaya Harobu—menyusuri sudut-sudut Indonesia yang jarang masuk narasi utama pembangunan. Dari krisis air bersih di Labuan Bajo, konflik agraria, hingga nasib warga lokal yang terpinggirkan, buku ini menawarkan cerita dari pinggiran yang kerap dilupakan.

Namun justru di ruang diskusi yang mestinya aman dan terbuka itulah aparat hadir, menghentikan acara, dan menolak kehadiran salah satu penulisnya. Alasan yang digunakan terdengar klasik: persoalan izin. Sebuah alasan administratif yang sering kali menjadi pintu masuk pembatasan ruang bicara.

Di titik ini, publik layak bertanya: mengapa diskusi buku harus dicurigai?

Kritik yang Kian Dipersepsikan Sebagai Ancaman

Ada perubahan yang terasa jelas dalam cara negara memandang kritik. Dulu, kritik dipahami sebagai bagian dari denyut demokrasi—sesuatu yang wajar, bahkan dibutuhkan. Kini, kritik sering kali diperlakukan sebagai gangguan stabilitas. Diskusi intelektual dianggap berpotensi memicu keresahan, bukan sebagai ruang mencari solusi.

Pembubaran bedah buku Reset Indonesia menjadi sinyal bagaimana ruang publik perlahan menyempit. Padahal, diskusi semacam ini adalah ruang belajar bersama: membaca realitas, menguji argumen, dan merumuskan harapan. Ketika ruang itu ditutup, yang terancam bukan hanya satu acara atau satu buku, melainkan kebiasaan berdialog itu sendiri.

Di sinilah kegelisahan itu muncul. Negara seolah tidak lagi percaya pada kemampuan warganya untuk berpikir kritis secara dewasa. Kritik dibaca sebagai oposisi, perbedaan pendapat dianggap pembangkangan. Akibatnya, dialog digantikan oleh pengawasan.

Represi yang Halus, Namun Mengikat

Menariknya, represi hari ini jarang tampil dalam bentuk kekerasan terbuka. Ia bekerja melalui bahasa yang rapi dan terdengar prosedural: “demi keamanan”, “antisipasi”, atau “belum ada koordinasi”. Tidak ada surat pelarangan resmi, tidak ada keputusan tertulis yang bisa digugat. Yang tersisa adalah atmosfer ketakutan.

Bahasa administratif semacam ini memberi kesan netral, padahal substansinya adalah pembatasan. Inilah yang membuat represi terasa licin dan sulit dilawan. Diskusi tidak dihentikan karena isinya keliru, tetapi karena dianggap berisiko.

Ketika negara masuk terlalu jauh ke ruang komunikasi warga, logika dialog berubah menjadi logika kontrol. Diskusi publik tidak lagi dinilai dari kualitas argumen, melainkan dari potensi dampaknya terhadap citra stabilitas.

Ironisnya, pembubaran diskusi justru sering memicu efek sebaliknya. Setelah acara bedah buku Reset Indonesia dibubarkan, rasa ingin tahu publik justru meningkat. Di media sosial, banyak orang bertanya: “Apa yang sebenarnya dibahas dalam buku itu?” Tak sedikit yang akhirnya mencari dan membeli buku tersebut karena penasaran.

Fenomena ini menunjukkan satu hal sederhana: represi tidak pernah benar-benar membungkam. Ia hanya memindahkan percakapan ke ruang lain—lebih luas, lebih liar, dan sulit dikendalikan.

Kemarahan publik juga tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari pengalaman sehari-hari: harga kebutuhan pokok yang mencekik, ketimpangan akses, rasa keadilan yang timpang, serta kebijakan yang terasa jauh dari suara warga. Ketika pengalaman ini tidak diolah melalui dialog terbuka, kemarahan akan mencari jalannya sendiri.

Negara yang kuat sejatinya tidak takut pada kritik. Ia justru percaya diri menghadapi perbedaan karena legitimasi kekuasaannya bertumpu pada kepercayaan publik. Represi terhadap diskusi publik bukan tanda kekuatan, melainkan gejala ketakutan—takut pada keterbukaan, takut pada koreksi, takut pada pengakuan bahwa masih banyak persoalan yang belum selesai.

Jika ruang diskusi terus ditutup, masyarakat dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama berbahaya: apatisme atau radikalisasi. Keduanya adalah ancaman nyata bagi masa depan demokrasi.

Pembubaran diskusi bedah buku Reset Indonesia seharusnya menjadi alarm. Demokrasi tidak mati dalam satu malam, tetapi ia bisa perlahan melemah ketika ruang-ruang kecil dialog dibiarkan hilang satu per satu.

Negara yang sehat bukanlah negara yang membungkam suara, melainkan negara yang cukup berani mendengarkan—bahkan ketika kritik terasa pahit dan tidak nyaman. Sebab dari situlah perbaikan seharusnya bermula.

Penulis: 

Laili Bariroh, Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Sosial Universitas Airlangga Surabaya, Staf Pengajar FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut